Tari Kecak : Tari Sakral yang Menghibur

tari kecak

Tarian ini terinpirasi dari ritual sanghyang dan bagian-bagian cerita Ramayana.

Ritual sanghyang sendiri merupakan tradisi tarian dimana penarinya berada dalam kondisi tidak sadar dan melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.

Nama Tari Kecak sendiri diambil kata “cak..cak..cak” yang sering diteriakan para anggota yang mengelilingi para penari, Sehingga tarian ini dikenal dengan nama Tari Kecak.

Dalam pertunjukannya, tarian diawali dengan pembakaran dupa, lalu para rombongan pengiring memasuki panggung sambil mengumandangkan kata “cak..cak.. cak”.

Kemudian mereka membentuk sebuah barisan melingkar, yang di tengah-tengahnya digunakan untuk menari.

Dalam pertunjukan Tari Kecak ini penari memerankan lakon-lakon dalam cerita Ramayana, seperti Rama, Shinta, Rahwana, dan tokoh-tokoh lainnya.

Gerakan dalam tarian ini tidak terlalu terpaku pada pakem, sehingga penari lebih luwes dalam bergerak dan fokus pada jalan cerita saja.

Kadang-kadang ada juga beberapa adegan lucu yang diperagakan para penarinya.

Selain itu beberapa adegan yang atraktif juga ditampilkan seperti permainan api dan atraksi lainnya.

Hal inilah yang membuat Tari Kecak memiliki kesan sakral namun juga menghibur.


Tari kecak adalah salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang diciptakan pada kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni Wayan Limbak.

Tari kecak di Bali terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1970-an.

Perkembangan yang bisa dilihat adalah dari segi cerita dan pementasan.

Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari Ramayana.

Kemudian dari segi pementasan juga mulai mengalami perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa Bona, Gianyar

Namun juga desa desa yang lain di Bali mulai mengembangkan tari kecak sehingga di seluruh Bali terdapat puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para anggota banjar.

Dalam perkembangannya pertunjukan tari yang juga menceritakan kisah pewayangan ini dimainkan oleh laki-laki yang berjumlah tak terbatas.

Ada kalanya disajikan oleh puluhan orang namun dalam acara tertentu ada pula yang dipertunjukkan secara massal oleh ribuan penari.

Perkembangan tari kecak dari awal terciptanya hingga kini memang bisa dikatakan cukup membanggakan.

Selain antusias masyarakat Bali terhadap seni garapan Wayan Limbak ternyata para wisatawan yang berkunjung ke Bali juga sangat tertarik dalam menyaksikan sebuah pertunjukan gerak seni ini.

Tak heran jika pemerintah daerah setempat menjadikan tari kecak sebagai salah satu icon kesenian dan kebudayaan daerah.

The Monkey Dance juga diberikan sebagai sebutan tari tradisional Bali yang satu ini.

Hal ini diberikan karena salah satu adegan dalam pertunjukan tari tersebut menggunakan properti api serta tokoh utama yang berperan sebagai kera/ Hanoman.
                              
B.  Fungsi Tari Kecak 
Fungsitari kecak sebagai berikut :
1.   Sarana upacara – merupakan bagian dari tradisi yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang sifatnya turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya sampai masa kini yang berfungsi sebagai ritual.
2.   Sarana hiburan – salah satu bentuk penciptaan tari ditujukan hanya untuk di tonton. Tari ini memiliki tujuan hiburan pribadi lebih mementingkan kenikmatan dalam menari.
3.   Sarana pertunjukkan – bentuk momunikasi sehingga ada penyampai pesan dan penerima pesan.
Tari ini lebih mementingkan bentuk estetika dari pada tujuannya. Tarian ini lebih digarap sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
4.   Sarana pendidikan – tari yang digunakan untuk sarana pendidikan dengan mengajarkan di sekolah-sekolah formal.
5.   Usaha melestarikan kebudayaan - Dalam tarian yang berawal dari upacara Sanghyang ini juga terdapat kisah dan cerita yang tersirat dari awal hingga akhir pertunjukan.
Cerita pewayangan yang di angkat dalam sebuah gerakan tari merupakan inovasi baru dalam usaha melestarikan kebudayaan Hindu khususnya dalam kisah Ramayana.


Dalam pertunjukan Tari Kecak tidak menggunakan alat musik apapun.

Tari Kecak ini hanya diiringi oleh suara teriakan anggota yang mengelilingi penari dan suara kerincing yang diikatkan di kaki para penarinya.

Untuk anggota pengiring suara tersebut biasanya terdiri dari 50 orang atau lebih.

Dalam anggota pengiring tersebut juga terdiri dari anggota yang bertugas sebagai, pengatur nada, penembang solo, dan Dalang yang mengatur jalannya cerita.


D.  Properti Tari Kecak
Tari kecak memiliki properti khas yang menjadi ciri khasnya dalam sebuah pertunjukan kesenian tradisional. Adapun properti yang biasa digunakan dalam pertunjukan antara lain sebagai berikut:
1.   Selendang 
Selendang atau kain yang dikenakan oleh para penari tari kecak memiliki corak kotak-kotak dengan warna hitam putih menyerupai papan catur.

2.   Gelang kincringan
Properti ini dikenakan baik pada pergelangan tangan dan sebagian juga pada pergelangan kaki. Gelang kicringan ini yang menimbulkan bunyi gemerincing pada saat gerakan tari dilakukan.

3.   Tempat sesaji
Adanya tempat sesaji sebagai properti tari kecak menjadikan tarian ini sangat unik dan terlihat sakral.

Terlebih asal usul gerakan tari yang berasal dari sebuah upacara adat Sanghyang membuat tarian ini juga terlihat mistis dikalangan para penonton.

4.   Topeng
Minimal terdapat 3 topeng yang dikenakan oleh penari utama yang berperan sebagai tokoh Hanoman, Sugriwa, dan Rahwana pada cerita yang disajikan selama tarian berlangsung.

Berbeda dengan jenis seni pertunjukan Bali lainnya, Tari Kecak memiliki keunikan karena tidak mengandalkan istrumen alat musik untuk mengiringi tarian, melainkan paduan suara para penarinya.

Irama bunyi “cak, cak, cak...” ditata sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu paduan yang sangat harmonis, diselingi dengan beberapa aksen dan ucapan-ucapan lainnya.

Para penari yang membunyikan suara “cak, cak, cak...” tersebut biasanya bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur yang melingkari pinggang mereka.
Sementara tokoh Rama, Sinta, Rahwana, Hanoman, maupun Sugriwa memakai pakaian seperti umumnya pada pertunjukan ketoprak.

Dalam tarian ini, ritme bebunyian yang diucapkan oleh para penari cukup menghadirkan aura mistis bagi penonton.

Apalagi setelah cerita Ramayana dalam tarian ini selesai dipentaskan, pertunjukan disambung dengan tarian Sanghyang Dedari dan Sanghyang Jaran yang para penarinya diyakini kemasukan roh halus, sehingga kebal ketika menari di atas bara api.

F.   Cerita Dalam Tarian Tari Kecak
Secara garis besar terdapat 5 bagian cerita dalam Tari Kecak:        
1. Bagian 1
Menceritakan tentang keberadaan Rama dan Dewi Shinta di dalam hutan yang kemudian disusul kemunculan kijang emas.

Dalam akhir cerita bagian 1 ini Shinta berhasil diculik oleh Rahwana dan dibawa ke Alengka yang menjadi kerajaan Rahwana.

2.   Bagian 2
Pada bagian kedua ini Dewi Shinta ditawan di lingkungan kerajaan Alengka dengan dijaga Trijata yang merupakan keponakan dari Rahwana.

Dalam adegan ini terlihat Shita bersedih hati akan peristiwa yang tengah menimpanya serta sangat berharap kedatangan Rama membebaskan dirinya dari Rahwana.

Pada bagian ini pula Hanoman muncul sebagai utusan Rama dan mengisyaratkan kepada Dewi Shinta bahwa Rama akan datang dan menyelamatkan dirinya.

Pada akhir bagian kedua ini Hanoman mempora-porandakan bangunan keraton Alengka dengan membakar beberapa bangunan keraton serta taman.

3.   Bagian 3
Mengisahkan tentang kedatangan Rama ke negeri Alengka dengan bala tentaranya untuk membebaskan Dewi Shinta dari sekapan Rahwana.

Pada awal pertempuran pihak Rama mengalami kekalahan melawan pasukan Rahwana.
Setelah memanjatkan doa kepada Sang Dewa datanglah burung garuda menyelamatkan Rama dari pengaruh sihir yang dilakukan oleh keturunan Rahwana.

4.   Bagian 4
Pertempuran antara Rama dan Rahwana kembali terjadi dan semakin seru. Pada bagian ini Sugriwa yang diperintahkan Raja Rama berhasil mengalahkan Megananda.

5.   Bagian 5
Merupakan pucak dari pertunjukan tari kecak dimana menceritakan tentang kemenangan Rama atas Rahwana sehingga berhasil menemukan Dewi Shinta dan membebaskannya dari Rahwana.

Cerita diakhiri dengan bertemunya kembali Rama dan Dewi Shinta serta beberapa pasukan pihak Rama seperti Hanoman dan Sugriwa.

G.  Tata Busana Tari Kecak
Dalam pertunjukannya penari menggunakan kostum sesuai dengan lakon yang diperankannya.

Kostum ini hampir sama dengan Wayang Wong, namun dengan gaya khas Bali.

Sedangkan para pengiring biasanya hanya menggunakan celana hitam dan kain bermotif kotak-kotak berwarna hitam putih.

Selain itu beberapa aksesoris seperti bunga yang diselipkan di salah satu telinga mereka.


H.  Filosofi Tari Kecak
1.   Nilai Religius
Masyarakat Bali mempercayai Tari Kecak sebagai salah satu tarian ritual memanggil dewi untuk mengusir penyakit dan juga sebagai sarana pelindung dari kekuatan jahat.

Dalam hal ini masyarakat Bali sangat mempercayai Dewinya untuk melindungi dirinya dari ancaman-ancaman.

Dewi yang biasanya dipanggil dalam ritual ini adalah Dewi Suprabha atau Tilotama.

2.   Nilai Estetika
Dalam sebuah karya seni pastilah mempunyai nilai estetika atau keindahan. Hal ini dapat kita lihat dari gerakan penari Kecak, kekompakan semua penarinya.

Keselarasan antara lagu dan gerakan yang terlihat sangat ritmis meskipun tanpa alat musik apapun.

Di dalam perkembangannya Tari Kecak tidak hanya sebagai tarian suci atau sakral seperti di atas, akan tetapi juga menjadi sebuah drama tari pertunjukan yang menceritakan kisah Ramayana maupun Mahabarata.

Hal ini tentunya juga berpengaruh pada nilai-nilai yang ingin disampaikan pada penikmat Tari Kecak.

Filsafat hitam-putih yang ada dalam Epos Ramayana juga semakin memperjelas nilai-nilai yang terkandung dalam Tarian Kecak.

Karena dalam Epos Ramayana diperlihatkan secara jelas antara yang baik dan yang buruk, berbeda dengan Epos Mahabarata, yang merupakan filsafat abu-abu. Adapun nilai-nilai yang terkandung adalah:
a.   Nilai religious
Nilai religius terlihat jelas pada adegan tiga, dimana Rama memohon pertolongan pada Dewata.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam cerita tersebut sangat mempercayai kekuatan Tuhan untuk menolong dirinya.

Orang Bali yang sangat menjaga nilai adat dan religi dalam tarian itu maka penari perempuan haruslah memakai kemben (baju adapt Bali) bukan telanjang dada seperti para penari prianya.

Jadi penari perempuan belum pernah dipasang pada posisi pasukan kera.

b. Nilai moral
Dalam adegan-adegan Tari Kecak yang mengambil cerita Ramayana terdapat banyak sekali nilai-nilai moral yang dihadirkan.

Seperti, kesetiaan Shinta pada suaminya (Rama), kesetiaan Laksmana pada kakaknya.

Nilai moral juga terlihat pada Burung Garuda yang ingin menolong Shinta dari cengkeraman Rahwana sampai ia mengorbankan sayapnya.

Dalam cerita tersebut Rahwana sebagai pemegang sifat buruk, tamak, serakah, dan sebagainya ia bahkan mengambil apa yang bukan miliknya secara paksa.

Kesetiaan juga terlihat pada adik kandung Rahwana yang bernama Kumbakarna, meskipun ia tidak menyukai tindakan kakaknya akan tetapi ia tetap membantu kerajaannya berperang melawan pasukan Rama sebagai bukti kesetiaannya pada negara.

c. Nilai estetika
Gerakan Tari kecak yang sangat indah dan sangat khas dan unik menjadikannya sebagai sebuah nilai estetika.

Selain itu, unsur gerak dan bunyi yang menjadi ciri khas Tarian Kecak merupakan bagian yang paling sederhana yang dilakukan secara seragam dan bersamaan sehingga menjadi filosofi penting atas terjadinya persaudaraan yang universal.





Rumah Adat Bali : Rumah yang Kaya Seni dan Filosofi


rumah adat bali

Banyak orang yang salah duga (termasuk saya) tentang rumah adat Bali. Di sekolah diajarkan bahwa nama rumah adat Bali adalah Gapura Candi Bentar. Jadi yang terbayang rumah adat Bali bentuknya seperti gapura, menjulang tinggi.

Padahal Gapura Candi Bentar bagian dari rumah adat Bali tersebut. Karena menjadi ciri khas rumah adat Bali, maka Gapura Candi Bentar diambil untuk menamakan rumah adat Bali.

A.  Upacara Pembangunan Rumah Adat Bali
Masyarakat Bali memulai pembangunan dengan upacara atau ritual. Upacara tersebut antara lain :
1.   Nyikut Karang : Proses mengukur tanah
2.   Caru Pengerukan Karang : ritual persembahan kurban dan meminta izin untuk membangun rumah
3.   Nasarin : upacara ritual peletakan batu pertama, yang bertujuan untuk meminta kekuatan agar bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh
4.   Prayascita : upacara yang dilakukan oleh pekerja atau tukang agar selalu dibimbing dan diselamatkan selama bekerja.


B.  Aturan dalam Membangun Rumah Adat Bali
Tidak sembarangan untuk membangun rumah adat Bali. Undagi (semacam Arsitek atau perancang rumah adat Bali) harus berpatokan pada Asta Kosala Kosali dan Tri Angga.

Asta Kosala Kosali adalah aturan tentang tata letak bangunan baik untuk rumah maupun bangunan suci yang diambil dari kitab suci Weda.

Karena diambil dari kitab suci tentu saja Asta Kosala Kosali mempunyai filosofi. Filosofinya menciptakan hubungan yang damai dan harmonis antara tiga aspek atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Aspek Tri Hita Kirana yaitu :

a.   Pawongan (manusia atau pemilik rumah)
b.   Palemahan (lokasi atau lingkungan dimana rumah itu dibangun)
c.   Parahyangan (spiritual)

Filosofi ini menggambarkan terbentuknya hubungan yang bersinergis antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

Yang unik dari Asta Kosala Kosali ini adalah satuan pengukurannya.
Kalau satuan pengukuran yang biasa dipakai menggunakan satuan meter, sedangkan pengukuran Asta Kosala Kosali menggunakan ukuran dari tubuh pemilik rumah.
Dengan tujuan agar ukuran rumah sesuai dengan pemilik rumah.

Satuan ukurannya adalah  :
a.   Amusti (ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas)
b.   Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
c.   Depa (ukuran dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
d.   dan beberapa satuan ukuran lain. 

Diantara aturan Asta Kosala Kosali adalah :
1)   Sudut Utara-Timur  : area suci atau area baik sehingga pura diletakkan pada sudut ini
2)   Sudut Selatan-Barat : dianggap lebih rendah atau area buruk sehingga posisi dapur diletakkan pada sudut ini.
3)   Pemilihan Tanah Untuk Membangun
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke Timur atau miring ke Utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).

Tanah yang dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
a)   karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan)
b)   karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan)
c)   karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
d)   karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan)
e)   karang teledu nginyah (karang tumbak tukad)
f)    karang gerah (karang di hulu Kahyangan)
g)   karang tenget
h)   karang buta salah wetu
i)     karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
j)     karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
k)   tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan kalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda. 

4)   Penataan Berdasarkan Kondisi, antara lain :
a)   Pekarangan Sempit. Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).

Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.

b)  Rumah Bertingkat. Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

c)   Rumah Susun. Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

5)   Ketika rancangan rumah sudah selesai, dalam proses membangun rumah ada beberapa hal yang bisa menjadi patokan agar rumah lebih bersinergi positif. Yaitu sebagai berikut:

a)   Bangunan yang terletak di Timur, lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat Bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.

Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yang disebut merajan atau sanggah.

b)   Dapur diletakan di arah Barat (Barat Daya), dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.

c)   Sumur atau lumbung tempat penyimpanan padi, diletakan di sebelah Timur atau Utara dapur atau juga di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.

d)   Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah Utara, sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah Timur dapur dan di Selatan balai Bandung. Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah Selatan balai adat.

6)   Penentuan pintu masuk, mengunakan cara sebagai berikut :
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur.

Jika membuat pintu masuk lebih dari satu, lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama.

Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garasi.

Jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya, bisa boros atau sakit-sakitan.

Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah Timur jika rumah menghadap Selatan) diatur jambangan air (pot air) yang diisi ikan.


2.   Tri Angga
Tri Angga adalah tingkatan yang terdiri dari Nista, Madya dan Utama.
a.   Nista merefleksikan hierarki terendah suatu tingkatan yang diperlihatkan melalui pondasi bangunan atau dasar bangunan sebagai penopang bangunan diatasnya.

Materialnya terbuat dari batu bata atau batu gunung yang disusun dengan rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibangun. Nista juga merefleksikan alam bawah, alam setan atau nafsu.

b.   Madya merefleksikan bagian tengah bangunan yang diperlihatkan dalam bentuk dinding, jendela dan pintu. Madya juga merefleksikan strata manusia atau alam manusia.

c.   Utama merefleksikan simbol dari bangunan bagian atas yang diperlihatkan dalam bentuk atap rumah.

Masyrakat Bali meyakini bahwa bagian atas merupakan tempat paling suci dalam rumah dan digambarkan sebagai tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah berpulang.
Material yang dipakai pada rumah adat Bali adalah atap ijuk dan alang-alang.


C.  Perbedaan Rumah Adat Bali di Dataran Rendah dengan Rumah Adat Bali di Dataran Tinggi
1.   Rumah Adat Bali di Dataran Rendah
Karena dataran rendah hawanya lebih panas, maka rumahnya banyak ruang terbuka, memiliki atap yang tinggi, dan juga halaman yang luas.

2.   Rumah Adat Bali di Dataran Tinggi
Karena letaknya di daerah yang dingin, maka rumahnya memiliki atap rendah sehingga ventilasi lebih sedikit agar suhu dalam rumah tetap hangat.


D.  Warna Rumah Adat Bali
Rumah adat Bali umumnya memiliki warna yang natural dan menyejukkan. Dengan dominasi coklat, krem dan merah bata sehingga memberikan kesan alami dan tidak mencolok.


E.  Material Rumah Adat Bali
Material bangunan rumah adat Bali tergantung kondisi ekonomi pemilik rumah.
Masyarakat biasa, dinding rumahnya dibangun menggunakan speci yang terbuat dari lumpur tanah liat

Sedangkan masyarakat yang mampu, dinding rumahnya dibangun menggunakan tumpukan bata-bata.


F.   Patung dan Ukiran Rumah Adat Bali
Selain sebagai penghias ruangan, penggunaan patung dan ukiran juga memiliki tujuan lainnya.
Patung menyimbolkan pemujaan masyarakat Bali terhadap sang pencipta dan juga rasa syukur.

Sedangkan ukiran atau pahatan menggambarkan mahluk hidup di bumi yaitu, manusia, binatang dan tumbuhan.

Ukiran tumbuhan yang terdapat pada rumah adat Bali antara lain:
1.   Keketusan : Motif tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan serta bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, ditempatkan pada bidang-bidang yang luas.

2.   Kekarangan : Motif menyerupai tumbuhan lebat dengan daun terurai ke bawah (menyerupai rumpun perdu), ditempatkan pada sudut kebatasan sebelah atas (karang simbar), dan  jika ditempatkan pada sendi tiang tugek (karang suring)


3.   Pepatran : Motif bunga-bungaan (patra sari, patra pid-pid, patra samblung, patra pal, patra ganggong, patra sulur dan lain-lain), ditempatkan pada bidang yang sempit seperti tiang-tiang dan blandar


G.  Bagian-Bagian Rumah Adat Bali
Walaupun Gapura Candi Bentar menjadi simbol utama rumah adat Bali, namun rumah adat Bali yang sebenarnya adalah sebuah bangunan yang memiliki bentuk segi empat bukan seperti gapura.

Rumah adat Bali berbeda dengan rumah adat lain. Kalau rumah adat lain dalam satu rumah terbagi menjadi beberapa ruangan, sedangkan rumah adat Bali ruangan terpisah menjadi beberapa bangunan.

Dengan kata lain rumah adat lain mempunyai konsep menyatu, sedangkan rumah adat Bali konsepnya menyebar.

Seluruh bangunan tersebut di kelilingi oleh tembok atau pagar pemisah dari lingkungan luar atau disebut panyengker karang (tembok batas rumah). Adapun bagian-bagian rumah adat Bali adalah :

1.   Sanggah atau Pamerajan (Pura Keluarga)
Sanggah atau Pamerajan adalah tempat suci bagi keluarga. Kegiatan sembahyang dan berdoa bagi leluhur dilakukan disini.
sanggah

Sanggah atau Pamerajan terletak di sudut timur laut.
Sanggah atau Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a.   Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b.   Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
c.   Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)

2.   Bale Dangin (Bale Gede)
Bale Dangin/ Bale Gede berfungsi sebagai tempat upacara adat,  juga sebagai tempat beristirahat (tidur) bila tidak digunakan untuk upacara.
bale dangin

Bale Dangin digunakan para ibu untuk duduk – duduk membuat benda – benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.

Bale Dangin menggunakan satu bale – bale,  kalau Bale Gede menggunakan dua buah bale – bale yang terletak di bagian kiri dan kanan.

Bangunan ini terletak di bagian timur atau dangin natah umah. Bentuk Bangunan Bale Dangin segi empat atau persegi panjang.

Saka (tiang) terbuat dari kayu,  yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus / astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras / Bale Gede).

Bagian - bagian Bale Dangin :
a.   Bebaturan.  
Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag atau tangga sebagai lintasan naik turun lantai kehalaman.

Bagian bawah atau kaki bangunan yang terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan.

b.   Tembok.   
Tembok dan pilar-pilarnya  dibangun dengan pola kepala badan kaki, dihias dengan pepalihan dan ornamen bagian-bagian tertentu.
Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangun. 

c.   Tiang (Sesaka).  
Tiang yang  disebut  Sesaka  adalah  elemen utama dalam  bangunan tradisioanl.
Penampang tiang bujur sangkar  dengan sisi-sisi sekitar 10 cm panjang tiang sekitar 220 cm.

d.   Lambang/Pementang
Lambang adalah balok belandar sekeliling rangkaian tiang , lambang rangkap yang disatukan. Balok rangkaian yang dibawah disebut lambang yang diatas disebut sineb. 

3.   Bale Delod
Bale Delod berfungsi untuk kegiatan adat, antara lain :

a.   Bila salah satu anggota keluarga meninggal, akan disemayamkan disana sebelum prosesi ngaben dilaksanakan.
b.   Tempat meletakan sesajen atau banten sebelum melaksanakan yadnya.
c.   Tempat untuk melaksanakan manusa yadnya seperti otonan, potong gigi, dan upacara pemberkatan pernikahan.
bale delod

Bentuk bangunannya  segi empat panjang, dengan ukuran 355 m x 570 m,  dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga anak tangga kearah natah.
Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan dan ditengah,  dua deret dibelakang.

4.   Bale Meten (Bale Daja)
Bale Meten/ Bale Daja berfungsi sebagai ruang tidur bagi kepala keluarga atau anak gadis. Bale Meten disebut juga Bale Daja karena diletakkan di area utara (kaja).
bale meten

Bale Meten berbentuk persegi panjang dan terdiri dari dua buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang.

Bale Meten dapat  menggunakan  sesaka (tiang)  yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras).

Bebaturan (bagian bawah bale) dibangun lebih tinggi dari pekarangan dan menjadi bangunan tertinggi di dalam rumah adat Bali.

5.   Bale Dauh (Bale Tiang Sanga)
Bale Dauh (Bale Tiang Sanga) sering juga disebut Bale Loji berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur anak remaja yang terletak dibagian Barat.
bale dauh

Bale Dauh terdiri dari satu buah bale dengan posisi dibagian dalam dan berbentuk persegi panjang.

Bale Dauh menggunakan sesaka (tiang) yang terbuat dari kayu dan memiliki sebutan yang berbeda tergantung dari jumlah tiang yang dimiliki.

Bale yang terdiri dari tiang berjumlah 6 disebut sakenem, bila tiangnya berjumlah 8 disebut sakutus (astasari), dan bila tiangnya berjumlah 9 disebut sangasari.

Bale Dauh menggunakan bebaturan dengan posisi lantai lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.

6.   Jineng (Klumpu)
Jineng (Klumpu) berfungsi sebagai lumbung padi atau gudang tempat penyimpanan beras. Jineng terletak di bagian tenggara hunian atau dekat paon (dapur). Atap jineng terbuat dari alang-alang.
jineng

Jineng terdiri dari dua lantai, bagian atas untuk menyimpan padi kering, sedangkan bagian bawah untuk menyimpan padi yang belum kering.

Karena bentuk bangunannya yang unik, menginspirasi banyak orang menjadikan hotel ataupun bale untuk bersantai dengan bentuk jineng dengan modifikasi.

Keistimewaan bangunan jineng adalah kedekatan suasana yang dibangun bersentuhan langsung dengan alam sehingga sangat memberi kesan rekreasi alami pada para penghuninya.

7.   Paon (Pewaregan)
Paon berfungsi sebagai dapur atau tempat untuk mengolah dan memasak makanan penghuni rumah. Terletak di sisi selatan rumah atau barat daya.
paon

Paon terbagi menjadi dua area. Area pertama disebut jalikan, yaitu ruang terbuka untuk memasak yang terdapat pemanggang dengan menggunakan kayu api.

Sedangkan area kedua merupakan sebuah ruangan penyimpanan makanan dan alat-alat dapur.

Masyarakat Bali mempercayai bahwa dapur merupakan tempat untuk menghilangkan ilmu hitam atau butha kala yang menempel sampai kerumah.

Bila ada anggota keluarga yang baru pulang berpergian, harus memasuki dapur terlebih dahulu sebelum memasuki bangunan lainnya.

8.   Aling – aling
Aling – aling adalah tembok sekat yang terbuatdari batu setinggi berkisar 150 cm. Berfungsi sebagai pembatas antara angkul - angkul dengan pekarangan rumah maupun tempat suci.
aling-aling

Selain tembok sekarang ini banyak juga yang menggunakan patung sebagai aling-aling.

Dengan adanya Aling – aling privasi pemilik rumah terjaga karena pandangan ke dalam dari arah luar secara langsung terhalang.

Selain itu aling-aling juga digunakan sebagai  pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah harus menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah masuk.

Aling-aling juga mampu meningkatkan sifat ruang positip karena penghalang masuknya pengaruh jahat (buruk)


9.   Gapura Candi Bentar / Angkul – Angkul
a.   Gapura Candi Bentar
Gapura Candi Bentar memiliki julukan gerbang terbelah, karena bentuk bangunannya seolah menggambarkan satu bangunan candi yang dibelah menjadi dua tanpa memiliki atap.
gapura candi bentar

Kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung dibagian dalam oleh anak-anak tangga yang menjadi jalan masuk.

Gapura Candi Bentar berfungsi sebagai gerbang utama untuk masuk menuju halaman area rumah atau pintu gerbang terluar.

Selain untuk rumah Gapura Candi Bentar juga ditemukan di Pura (tempat ibadah umat Hindu di Bali)

b.   Angkul-angkul
Angkul – angkul adalah pintu  masuk utama dan satu-satunya menuju ke dalam  rumah adat Bali. Fungsinya sebagai gapura jalan masuk.
angkul-angkul

Namun tidak seperti Gapura Candi Bentar, angkul – angkul memiliki atap yang menghubungkan kedua sisinya. Atapnya berupa piramida dan terbuat dari rumput kering.


Kesembilan jenis bangunan di atas adalah standar umum rumah adat Bali, sehingga yang sering dibahas adalah kesembilan poin tersebut.

Namun kurang lengkap rasanya bila membahas rumah adat Bali, bila tidak membahas halamannya.

H.  Halaman Rumah Adat Bali
Susunan halaman rumah adat Bali mengikuti konsep Tri Angga, yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama  Mandala.
1.   Nista Mandala yaitu bagian belakang halaman dikhususkan  untuk palemahan
2.   Madya Mandala yaitu bagian tengah  yang dikhususkan untuk pawongan  atau penguni rumah  
3.   Utama Mandala yaitu bagian depan  yang dikhususkan untuk tempat suci atau parahyangan.

Elemen halaman yang tidak boleh diabaikan adalah taman. Untuk mendesain taman gaya bali berdasarkan konsep asli taman tradisional Bali, harus benar-benar memperhatikan tiga unsur pokok, yaitu :
1.   Satyam (kebenaran)
2.   Siwam (kesucian, kemuliaan, dan kebersihan)
3.   Sundaram (keindahan dan keharmonisan).

Selain itu ada empat komponen yang harus diperhatikan juga, yaitu :
1.   Ardha Chandra (bulan sabit) yang berupa elemen keras dan estetisnya

2.   Kayu Kasta Gumani yang berupa elemen tanaman pemberi kehidupan. Komponen ini kemudian melahirkan konsep Panca Wriksa (lima pohon pemberi kehidupan), yaitu :
a.   Beringin
b.   Bodhi
c.   Pisang
d.   Uduh
e.   Peji.

Menurut sumber purana, Panca Wriksa pada awalnya merupakan tumbuhan yang tumbuh di Taman Nandhana (Istana Indraloka).

Terdiri dari Wandira (Beringin), Parijataka (Dadap), Dewandaru (Harichandanaka), Kalpataru, dan Vilva (Maja).

3.   Tirta Kamandalu, yaitu elemen air yang memberikan kesejukan, baik pada jiwa maupun lingkungan alam.

4.   Dewi Laksmi yang berupa elemen keindahan dalam hal keserasian, kedamaian, keharmonisan, dan lingkungan.

Tanaman-tanaman yang biasa digunakan di taman-taman tradisional Bali, mulai dari area pintu masuk pekarangan depan (angkul-angkul) sampai area natah (halaman bagian dalam), antara lain :

1.   Pohon Beringin (Ficus Benjamina L)
Memberikan keteduhan terhadap lingkungan dan memiliki makna simbolis memberikan kedamaian hidup.
pohon beringin

Namun, beringin sebaiknya tidak ditanam di area natah (halaman bagian dalam) karena dalam konsepsi taman tradisional Bali, beringin diyakini menjadi tempat hunian Setan Banaspati yang memberi pengaruh buruk kepada para penghuni rumah.

2.   Pohon Bodhi/Ancak (Hemandia pellata)
Berfungsi religius sebagai tempat meditasi untuk memohon kehidupan dan kedamaian kepada Tuhan.
pohon bodhi

3.   Pohon Pisang (Musa sapientum L)
Pohon penghasil makanan yang memberikan kehidupan.
pohon pisang

4.   Pohon Uduh (Caryota mitis)
Berfungsi secara religius dan simbolis sebagai tempat untuk menerima pituduh, wangsit, atau petuah.
pohon uduh

5.   Pohon Peji  (Drymophleous ovilivacouncis Mart)
Sejenis palem yang dalam aspek religius magis berfungsi sebagai tempat untuk memuji dan menyembah kebesaran Tuhan.
pohon peji

6.   Kaktus (Pachycereus Sp)
Dianggap sebagai tanaman penolak bala’ dan diyakini dapat menangkal maksud-maksud yang tidak baik.
kaktus

Biasanya ditanam di sebelah kanan sebelum pintu masuk pekarangan. Namun dapat juga ditanam di halaman luar dekat pintu masuk rumah atau di sekitar dapur.

7.   Pohon Dadap Wong (Erythrina variegata)
Pohon berbunga merah ini juga diyakini dapat menangkal maksud-maksud yang tidak baik atau menolak orang-orang yang berniat jahat.
pohon dadap wong

Biasanya ditanam di sebelah kiri sebelum pintu masuk pekarangan, dipasangkan dengan Kaktus.

8.   Pohon Palem Waregu (Raphis excelsa)
Diyakini dapat menghancurkan kekuatan negatif yang lebih kuat sehingga biasanya ditanam setelah pintu masuk pekarangan, di sebelah dalam pintu masuk pekarangan.
pohon palem waregu

9.   Pohon Kelor (Moringa oleifera)
Pohon berdaun bulat telur kecil-kecil ini digunakan sebagai penangkal kejahatan pamungkas (terakhir) di pekarangan rumah. Biasanya ditanam di lahan dekat dapur.
pohon kelor

10.               Jepun Petak/Kamboja Putih (Plumeria acuminata) dan Sudamala/Kamboja Merah (Plumeria rubra).
Kedua jenis tanaman Kamboja ini memiliki makna filsofi membersihkan dan mensucikan (memarisudha) semua orang yang akan masuk ke area utama rumah atau area suci. Kedua tanaman ini biasanya ditanam di pintu masuk utama.
pohon kamboja

11.               Seligi/Kayu Tulak (Phyllanthus buxifolius Muell. Arg)
Tanaman yang dalam pengobatan tradisional sering digunakan untuk mengobati sendi terkilir ini dipercaya dapat menolak dan menghilangkan segala bentuk pikiran buruk.
kayu tulak

Sehingga hanya orang-orang yang berpikiran baik sajalah yang dapat memasuki rumah. Tanaman ini biasanya juga ditanam di sekitar pintu masuk utama.

12.               Pohon Dewandaru/nagasari (Mesua ferrea L.)
Pohon berkayu yang termasuk ke dalam anggota suku manggis-manggisan ini diyakini menjadi pohon kesayangan para Dewa dan Dewi karena memiliki aura paling putih, besih, dan dingin.
pohon dewandaru

Pohon ini biasanya ditanam di bagian dalam halaman utama, setelah pintu masuk utama.

13.               Tanaman bunga-bungaan beraroma wangi seperti mawar, cempaka, kenanga, dadap, kaca piring, dan sejenisnya
Jenis-jenis tanaman yang biasa ditanam di pekarangan rumah Bali, mulai area pintu masuk pekarangan depan (angkul-angkul) sampai area natah (halaman dalam) karena diyakini membawa pengaruh kesucian dan keindahan.
bunga mawar

Selain itu juga membantu pemusatan pikiran kepada Tuhan sehingga sering ditanam juga di sekitar bangunan suci peribadatan dan digunakan sebagai salah satu kelengkapan utama dalam upakara.

14.               Pohon buah-buahan seperti Manggis, Belimbing, dan sejenisnya
Jenis tanaman yang sangat baik untuk ditanam di halaman dekat dapur dan di bagian luar natah.
pohon maggis

15.               Bunga Medori/Widuri Putih (Calotropis gigantea)
Tanaman perdu besar dengan bunga berlapis lilin yang dapat berwarna putih atau ungu ini dalam budaya tradisional Bali merupakan perlambang dari Sang Hyang Iswara (dewa penguasa purwa/arah timur), sehingga ditanam di bagian timur pekarangan.
bunga widuri putih

16.               Bunga Tunjung/Teratai Putih (Nymphaea lotus) dan Kelapa Bulan (Cocos nucifera L.)
Tanaman-tanaman ini juga merupakan perlambang dari Sang Hyang Iswara, sehingga ditanam di bagian timur pekarangan.
bunga teratai putih

17.               Pohon Pinang/ Jambe (Areca catechu)
Tanaman ini dalam budaya tradisional Bali merupakan perlambang dari Sang Hyang Brahma (dewa penguasa daksana/arah selatan), sehingga ditanam di bagian selatan pekarangan.
pohon pinang

18.               Bunga Tunjung Merah (Nymphaea rubra)
Bunga ini dalam budaya tradisional Bali juga merupakan perlambang dari Sang Hyang Brahma, sehingga ditanam di bagian selatan pekarangan.
bunga tunjung merah

Selain Tunjung Merah, Kelapa Udang (Cocos nucifera L ) juga ditanam di bagian selatan pekarangan.

19.               Bunga Siulan (Aglaia odorata Lour), Kelapa Gading (Cocos nucifera L) dan Tunjung Kuning (Nymphaea mexicana
Merupakan perlambang Dewa Mahadewa penguasa pascima (arah barat), sehingga bunga-bunga ini ditanam di bagian barat pekarangan.
bunga tunjung kuning

20.               Bunga Telang Biru (Clitoria ternatea), Kelapa Gadang (Cocos nucifera L) dan Tunjung Biru (Nymphaea caerulea)
Merupakan perlambang Sang Hyang Wisnu penguasa uttara (arah utara), sehingga ditanam di bagian utara pekarangan.
bunga telang biru

21.               Bunga Tunjung Pancawarna dan Kelapa Sudamala
Merupakan perlambangan dari Dewa Syiwa sehingga ditanam di tengah-tengah pekarangan.
kelapa sudamala

22.               Bunga Ratna atau Bunga Kenop (Gomphrena globosa L)
Tanaman cantik ini berbunga bulat pink keunguan. Dalam kisah Adiparwa digunakan sebagai sarana untuk untuk menciptakan wujud seorang putri cantik jelita bernama Tilotama.
bunga ratna

Yang  ditugaskan menggoda dua orang raksasa kembar yang sedang bertapa dengan tujuan menguasai surga.

Bunga ini selain berfungsi sebagai elemen estetis di pekarangan juga merupakan salah satu bunga utama pada upacara-upacara keagamaan di Bali.