Tari Pendet : Sejarah, Fungsi, Pertunjukan, Gerakan, Kostum, dan Penciptanya

tari pendet

Tari pendet merupakan salah satu tarian selamat datang yang paling tua di Pulau Bali.

Menarikan tarian ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali.

Para ahli seni pertunjukan Bali, berdasarkan beberapa catatan yang ada, menyetujui bahwa tahun 1950 adalah tahun kelahiran tari Pendet.

Tidak hanya saat menyambut tamu-tamu penting, dalam setiap pertunjukan tari-tarian Bali, tarian ini selalu dijadikan sebagian tarian pembuka.

Jenis tarian penyambutan ini dibawakan oleh sekelompok remaja putri yang masing-masing membawa mangkok perak yang berisi bunga warna-warni.

Dan pada bagian akhir tarian, para penari menaburkan bunga-bunga yang mereka bawa ke arah penonton atau tamu yang disambut, sebagai ucapan selamat datang.

Pada awalnya, Tari Pendet dipakai sebagai pelengkap upacara piodalan di pura-pura atau tempat suci keluarga, sebagai lambang rasa syukur, hormat, dan sukacita saat menyambut kehadiran para dewata yang turun dari khayangan.

Penggagas tarian ini adalah dua seniman kelahiran desa Sumertha, Denpasar, yaitu I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng.

Keduanya menciptakan tari Pendet penyambutan dengan empat orang penari yang dipentaskan sebagai bagian dari pertunjukan kepariwisataan di sejumlah hotel yang ada di Denpasar, Bali.

Dan pada tahun 1961, I Wayan Beratha mengembangkan tarian ini dan menambah jumlah penarinya menjadi lima orang, seperti yang sering ditampilkan sekarang.

Pada tahun 1962, I Wayan Beratha dan kawan-kawan kembali mengembangkan Tari Pendet yang ditarikan secara massal, jumlah penarinya tidak kurang dari 800 orang, dan ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta.

A.  Sejarah Tari Pendet
Seperti yang dikutip dari ISI Denpasar, Lahirnya tari pendet berawal dari ritual sakral Odalan di pura yang disebut dengan mamendet atau mendet.

Mendet dimulai detelah pendeta mengumandangkan mantra dan setelah pementasan topeng sidakarya.

Tari ini dipentaskan secara berpasangan atau secara masal dengan membawa perlengkapan sesajen dan bunga.

Pendet disepakati lahir pada tahun 1950.

Tarian Pendet ini masih tetap mangandung aura sakral-religius meskipun dipentaskan di sebuah acara non-keagamaan.

Pada tahun 1961, I Wayan Beratha memodifikasi Tari Pendet hingga menjadi Tari Pendet yang sering kita saksikan sekarang.

Beliau juga menambah penari Pendet menjadi 5 orang.

Setahun kemudian, 1962 I Wayan Beratha dan kawan-kawan menyajikan Tarian Pendet Masal yang ditarikan oleh 800 orang penari untuk ditampilkan di Jakarta dalam acara pembukaan Asian Games.

Kemudian pada tahun 1967, Koreografer Tari Pendet Modern I Wayan Rindi mengajarkan dan melestarikan tarian pendet kepada generasi-generasi penerusnya.

Selain Pendet, beliau juga mengajarkan dan melestarikan tari bali lainnya kepada keluarganya maupun lingkungan diluar keluarganya.

B.  Fungsi Tari Pendet
Di Bali, Seni Tari tradisional di bali menjadi 3 fungsi yang berbeda yakni tari wali. tari bebali dan tari balih-balihan. Perbedaan diantara ketiganya yakni :

1.   Tari wali, sering juga disebut tari bali, merupakan kelompok tari-tarian yang memiliki fungsi sebagai pengiring pelaksanaan upacara.

Jadi tarian ini adalah tarian yang sakral dan wajib ada dalam upacara keagamaan yang bersifat besar.

Contohnya adalah Tari Rejang, Tari Sanghyang, Tari Baris Gede dan yang lainnya

2.   Tari Bebali, adalah tari yang memiliki fungsi sebagai penunjang jalnnya upacara.

Jadi Tarian ini tidak wajib ada dalam sebuah upacara.

Contohnya adalah : Tari Cendrawasih, Tari Belibis dan lain-lain.

3.   Tari Balih-Balihan, merupakan Tari Tradisional yang memiliki fungsi sebagai hiburan atau tontonan.

Tarian ini biasanya dipentaskan di sebuah acara-acara non keagamaan.

Contohnya adalah Tari Janger, Joged dan lain-lain.

Tari Pendet mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai Tari Wali dan juga Tari Balih-balihan.

Karena Tarian Pendet sering difungsikan sebagai Tarian pengiring Upacara Keagamaan.

Namun seiiring perkembangan zaman, Tarian Pendet Lebih sering lagi di pentaskan dalam acara-acara besar yakni sebagai tari penyambutan tamu-tamu penting dalam sebuah acara.

Meskipun begitu, Tarian Pendet tidak kehilangan kesakralannya dan tetap mengandung aura religius yang tinggi.

C.  Pertunjukan Tari Pendet
Dalam pertunjukannya, Tari Pendet dimainkan oleh para penari wanita yang masing-masing membawa mangkok/bokor berisi bermacam-macam bunga sebagai properti menarinya.

Pada akhir pertunjukan, penari menaburkan bunga-bunga yang mereka bawa ke arah penonton dan para tamu sebagai ucapan selamat datang.

Penari tersebut menari dengan gerakan yang dinamis sesuai dengan irama musik pengiringnya.

Musik pengiring dalam pertunjukan Tari Pendet ini merupakan musik Gamelan khas Bali seperti gangsa, kenyur, tungguh, kendang dan lain-lain.

D.  Gerakan Tari Pendet
Gerakan Tari Pendet ini merupakan gerakan tari yang sangat komplit, karena gerakan tari tersebut hampir menggerakan semua bagian tubuh.
Mulai dari gerakan kaki, tangan, jari, badan, leher dan gerakan ekpresif seperti gerakan mata dan mimik muka.

Untuk menarikan Tari Pendet ini tentunya membutuhkan keluwesan dan kelincahan.

E.  Kostum Tari Pendet
Dalam pertunjukannya penari menggunakan busana dan tata rias khas penari Bali.

Busana tersebut meliputi tapih, kemben prade, sabuk stagen, sabuk prade, selendang yang dililitkan di badan dan diletakan dipundak penari.

Pada bagian kepala, rambut di ikat dengan pusung gonjer kemudian di hias dengan bunga jepun, bunga kamboja, bunga mawar dan jempaka.

Selain itu penari juga dipercantik dengan berbagai aksesoris seperti gelang, kalung dan anting.

Sedangkan untuk tata rias penari biasanya lebih mempertajam garis-garis muka supaya terlihat lebih jelas dan tidak lupa memakai subeng.

F.   Pencipta Tari Pendet (I Wayan Rindi)
Ia merupakan seorang gadis Bali yang dilahirkan pada 1917.

Di Banjar Lembah, Denpasar, Wayan tumbuh sebagai seorang gadis yang cerdas dengan bakat yang mengagumkan.

Sejak usia muda, ia mengenal dan mempelajari sejumlah tarian tradisional. Bahkan, ia berguru kepada beberapa maestro tari Bali seperti I Wayang Lotering, I Nyoman Kaler, serta I Regog.

Walaupun berasal dari keluarga yang sederhana, I Wayan Rindi menunjukkan bakat yang luar biasa dalam tarian.

Ia mulai dilirik oleh banyak orang sebagai penari yang unggul dengan potensi besar yang dimilikinya.

Pendet sendiri termasuk tarian paling tua diantara tarian sejenis di Pulau Bali, yang diperkirakan lahir pada tahun 1950 silam.

Awalnya, Tari Pendet bukanlah tarian yang digunakan sebagai tari pertunjukkan ataupun tarian ucapan selamat datang.

Tarian ini lebih sering menjadi pemujaan yang banyak diperagakan di pura.

Namun, berkat gubahan dari I Wayan Rindi, tarian ini bisa dinikmati secara universal tanpa meninggalkan nilai- nilai sakral, religius dan keindahan yang terkandung dari tari tersebut.

Tari Pendet lahir untuk memenuhi keinginan I Wayan Rindi melahirkan sebuah tarian penyambutan untuk tamu.

Bersama seorang temannya bernama Ni Ketut Reneng, Wayan membuat sebuah tarian dengan mengambil pakem gerakan yang ada di Tarian Pendet Wali, termasuk roh tarian tersebut.

Semuanya mengikuti pakem Tari Pendet Wali.

Hanya saja, mereka mengubah fungsinya sebagai tarian penyambut tamu dengan menambahkan modifikasi gerakan yaitu pelemparan bunga ke arah tamu sebagai penghormatan.

Modifikasi tarian ini terus dilakukan, seiring dengan perkembangan dan fungsi Tari Pendet sebagai penyambut tamu yang ternyata sangat menarik minat para wisatawan yang berkunjung ke Bali.

Nama Pendet pun dikenal banyak orang dan bahkan digunakan sebagai salah satu media untuk mengenalkan Indonesia ke mata dunia.

I Wayan Rindi menyaksikan perkembangan Tari Pendet gubahannya hanya sampai pada tahun 1976.

Setelah ratusan orang berhasil ia ajarkan makna dan gerakan tari, Ia meninggal dunia pada tahun tersebut.  

Walaupun I Wayan Rindi tidak pernah mematenkan Tarian Pendet gubahannya itu, ia sudah meninggalkan warisan yang begitu berharga bagi Bali maupun Indonesia di mata dunia sampai saat ini.







Pakaian Adat Suku Sasak dan Suku Bima

pakaian adat nusa tenggara barat


ProvinsiNusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar, yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa.

Suku mayoritas yang mendiami pulau Lombok adalah suku Sasak, sedangkan suku mayoritas di pulau Sumbawa adalah suku Bima

Oleh karena itu pakaian adat Nusa Tenggara Barat diwakili oleh pakaian adat kedua suku tersebut.

Meskipun terdiri dari 2 kebudayaan yang dominan, di kancah Nasional, kebudayaan suku Sasak merupakan kebudayaan yang sering dikedepankan.

Hal tersebut mengingat secara keseluruhan, suku sasak merupakan suku mayoritas di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan total sebesar 68% dari total populasinya.

Sebagian besar pakaian adat suku Sasak berasal dari kain tenun.

Hal ini dikarenakan masyarakat Sasak sudah mengenal teknik menenun sejak abad ke-14.

Corak hias pada kain tenun pada umumnya merupakan eksplorasi dari kehidupan alam sekitar dan mitologi.

Seperti pohon mawar, burung, ular naga, dan tokoh pewayangan.

Corak hias pada kain untuk perempuan berbeda dengan ragam hias pada kain untuk laki-laki.
pakaian adat suku sasak

a.   Pakaian Adat Wanita Suku Sasak
Pakaian adat wanita suku sasak disebut lambung. Disebut baju lambung, karena bagian bawahnya hanya sampai lambung atau perut.

Baju ini memang menggantung dan sedikit mengembang di bagian perut. Karena bagian tengahnya dikerutkan sampai ke ujung tepian leher.

Lambung adalah baju hitam tanpa lengan dengan kerah berbentuk segitiga atau hurup “V” dan sedikit hiasan di bagian pinggir baju.

Pakaian ini menggunakan bahan kain pelung.

Sebagai pelengkap lambung, dikenakan selendang yang menjuntai di bahu kanan bercorak ragi genep yang merupakan jenis kain songket khas sasak

Dipadukan dengan sabuk anteng (ikat pinggang) yang dililitkan dan bagian ujungnya yang berumbai dijuntaikan di pinggang sebelah kiri.

Pada bagian bawahannya memakai kain panjang sampai lutut atau mata kaki dengan bordiran di tepi kain dengan motif kotak-kotak atau segitiga.

Sebagai aksesoris ditambahkan sepasang gelang pada tangan dan kaki berbahan perak.

Sowang (anting-anting) berbentuk bulat terbuat dari daun lontar.

Rambut diikat rapi dan sebagai aksen diselipkan bunga cempaka dan mawar, atau bisa juga disanggul dengan model punjung pliset.

Pakaian adat lambung digunakan gadis-gadis Sasak khusus untuk menyambut tamu dan pembawa woh-wohan dalam upacara mendakin atau nyongkol.


b.   Pakaian Adat Pria Suku Sasak
Pakaian adat pria suku sasak disebut pegon. Pegon dipengaruhi oleh tradisi Jawa dengan adaptasi dari jas eropa sebagai lambang keagungan dan kesopanan.

Bahan yang digunakan berwarna polos dengan modifikasi dibagian belakang agar mudah menyelipkan keris.

Untuk bagian kepala, pria sasak yang menggunakan pakaian adat sasak biasanya akan mengenakan Sapuq/Sapuk (batik, pelung, songket)

Sapuk merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Jenis dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.

Untuk ikat pinggang (leang/tampet atau dodot), menggunakan kain songket bermotif benang mas sebagai pasangan pegon.

Pemakaiannya tidak seperti ikat pinggang melainkan lebih berfungsi sebagai aksen, sekilas mirip busana tradisional melayu.

Untuk masyarakat biasa, kain songket yang digunakan bermotif ragi genep, penggunaannya dililitkan biasa seperti ikat pinggang pada umumnya.

Leang atau tampet atau dodot ini berfungsi untuk menyelipkan keris.

Untuk keris yang berukuran besar, biasanya diselipkan di belakang.

Sedangkan untuk keris yang berukuran kecil diselipkan di depan.

Penggunaan keris tidak mutlak, keris bisa diganti dengan pemaja atau pisau raut.

Sebagai bawahan, pria Sasak menggunakan wiron atau cute.

Wiron berbahan batik Jawa dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam.

Penggunaannya seperti kain di Jawa atau samping di Sunda yang menjuntai hingga mata kaki.

Untuk penggunaan wiron, tidak diperkenankan menggunakan kain polos berwarna merah atau putih.

Sebagai pembeda antara masyarakat biasa dengan pemangku adat, pemangku adat menggunakan Selendang Umbak.

Selendang Umbak berbentuk sabuk yang dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak.

Warna kain umbak putih merah dan hitam dengan panjang sampai dengan empat meter.

Di ujung benang digantungkan uang cina (kepeng bolong).

Selain perlengkapan busana adat Sasak diatas, khusus untuk pemangku adat digunakan pula Selendang Umbak.

Umbak sebagai pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat, pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.


c.   Pakaian Pengantin Suku Sasak
Untuk pakaian pengantin, digunakan pakaian yang lebih banyak hiasannya.
pakaian pengantin suku sasak

Pengantin wanita memakai tangkong (baju) semacam kebaya yang biasanya berwarna hitam polos, tetapi kadang diberi hiasan pinggiran bajunya.

Untuk bagian bawah dikenakan kereng (kain panjang), yang umumnya dibuat dari kain songket.

Sebagai pelengkap penampilan digunakan kancing baju (buak tongkong) emas, kalung emas, ikat pinggang (gendit/ pending) emas, gelang tangan (teken), cincin (ali-ali), dan gelang kaki (teken nae).

Pengantin pria mengenakan klambi yang bahannya sama dengan pengantin wanita.

Bagian atas berupa jas tertutup dengan potongan agak meruncing pada bagian bawah belakangnya untuk mempermudah menyelipkan keris.

Bagian bawah menggunakan kereng (kain panjang), yang terbuat dari kain songket yang bermotif khas Lombok.
Kemudian ditambah dodot (kampuh), kain yang biasanya bercorak sama dengan yang dipakai pengantin wanita.

Bagian kepala memakai sapu (ikat kepala atau destar) yang juga terbuat dari kain songket dan sering diberi hiasan keemasan yang sering diselipkan pada ikat sapu bagian depan.

Dibagian punggung diselipkan keris panjang.


2.   Pakaian Adat Suku Bima
Suku Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang terdapat di Kota Bima dan Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Suku Bima bermukim di daerah dataran rendah, yang berada dalam wilayah kabupaten Bima, Dongo dan Sangiang.

Kondisi alam pemukiman suku Bima berbeda-beda, di daerah utara tanahnya sangat subur, sedangkan sebelah selatan tanahnya gundul dan tidak subur.

Masyarakat suku Bima kebanyakan bermukim dekat pesisir pantai.

Suku Bima kadang disebut juga sebagai suku "Oma" (berpindah-pindah) karena kebiasaan hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

pakaian adat suku bima

Pakaian adat wanita suku Bima disebut dengan Rimpu Cala. Rimpu Cala adalah pakaian semacam hijab yang terdiri dari 2 kain sarung.

Sarung pertama untuk menutupi bagian kepala dan lengan, lalu kain yang satu lagi digunakan sebagai rok.

Selain Rimpu Cala, ada juga Rimpu Mpida. Rimpu Mpida biasanya digunakan oleh wanita yang belum menikah.

Rimpu Mpida menutupi badan hingga hanya menyisakan mata layaknya menggunakan cadar.

Rimpu Cala dan Rimpu Mpida merupakan bukti bahwa pengaruh kebudayaan agama islam di masyarakat suku Bima sangatlah kuat.

  
b.   Pakaian Adat Pria Suku Bima
Pakaian adat pria suku Bima berupa kemeja berlengan panjang dan mengenakan sambolo dibagian kepala. Sambolo merupakan ikat kepala.

Pada bagian bagian bawah, menggunakan kain songket bernama tembe me'e.

Sebagai pelengkap digunakan pula salepe atau selendang yang berfungsi sebagai ikat pinggang.


c.   Pakaian Pengantin Suku Bima
Pakaian pengantin suku Bima berbeda dengan pakaian adatnya.
pakaian pengantin suku bima

Mempelai wanita memakai bjau poro rante yang terbuat dari kain halus warna merah dan dihiasi dengan cepa benang emas diseluruh permukaan baju.

Kemudian baju tersebut dipadu dengan sarung songket (tembe songke) dan ikat pinggang (slepe) yang berwarna keemasan.

Pasapu (sapu tangan) dari kain sutra bersulam benang perak dipegang di tangan kanan.

Rambutnya disanggul dan dihiasi dengan keraba.

Keraba yang terbuat dari gabah (bulir padi yang belum dikupas kulitnya) yang digoreng tanpa minyak hingga mekar dan tampak warna putih berasnya secara dominan.

Keraba tersebut ditempel pada rambut dengan perekat malam atau lilin hingga warna putihnya mencolok di atas rambut.

Tatanan rambut yang dihiasi keraba tersebut disebut wange.

Aksesoris lain seperti bangka dondo (anting-anting panjang) dan ponto (gelang tangan) juga berwarna keemasan.

Sementara itu, mempelai laki-laki mengenakan pasagi, yaitu baju dan celana yang terbuat dari kain yang sama.

Kain tersebut dihiasi dengan cepa dan sulaman benang emas.

Siki (kain songket atau tembe songke) dikenakan sebatas lutut, seperti memakai sarung.

Untuk menakar siki digunakan baba, yaitu kain yang berukuran lebih lebar dari ikat pinggang biasa.

Baba berfungsi untuk menyelipkan keris. Di atas baba diselipkan selepe mone, yaitu ikat pinggang yang terbuat dari logam keemasan.

Sebuah keris, yang pada hulunya diikatkan pada baba.

Pakaian pengantin pria ini juga dilengkapi dengan karoro, yaitu semacam jubah hitam yang berhais cepa berwarna keemasan dan mahkota yang disebut siga.



Rumah Adat Nusa Tenggara Barat : Dalam Loka Samawa dan Rumah Bale


rumah adat nusa tenggara barat
Penduduk Nusa Tenggara Barat terdiri dari suku Sasak, yaitu suku asli yang berasal dari Pulau Lombok, dan suku Bima serta suku Sumbawa yang berada di pulau Sumbawa.

Masing-masing pulau memiliki rumah adatnya sendiri.

Seperti pulau Sumbawa memiliki rumah adat bernama Dalam Loka Samawa dan Pulau Lombok memiliki rumah adat suku Sasak yang biasa disebut Bale.

A.  Dalam Loka Samawa
Rumah istana Sumbawa atau Dalam Loka adalah rumah adat atau istana yang didirikan dan dikembangkan oleh pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III di Pulau Sumbawa, tepatnya di  kota Sumbawa Besar.
dalam loka samawa
Terdapat pengertian dari Dalam Loka itu sendiri, yaitu kata “Dalam yang memiliki arti istana atau rumah yang ada di dalam istana dan “Loka yang memiliki arti dunia atau juga tempat.

Sehingga dapat disimpulkan pengertian Dalam Loka merupakan istana atau tempat hunian raja.

Namun, penggunaan rumah adat Dalam Loka saat ini difungsikan untuk menyimpan benda atau artifak bersejarah milik Kabupaten Sumbawa.

Dalam Loka disusun oleh bangunan kembar yang disokong atau ditahan oleh 98 pilar kayu jati dan 1 pilar pendek (pilar guru) yang dibuat dari pohon cabe.

Jumlah dari seluruh tiang penyokong adalah 99 tiang yang mewakili 99 sifat Allah dalam Al-Qur’an (Asmaul Husna).

Di Dalam Loka ini terdapat ukiran-ukiran yang merupakan ukiran khas daerah Pulau Sumbawa atau disebut lutuengal yang digunakan untuk ornamen pada kayu bangunannya.

Ukiran khas Pulau Sumbawa ini biasanya motif bunga dan juga motif daun-daunan.

Istana dalam loka dibangun mengarah ke selatan yaitu ke Bukit Sampar dan alun-alun kota dan hanya memiliki satu pintu masuk utama melalui tangga depan dan pintu samping melalui tangga kecil.

Tangga depan yang dimiliki Dalam Loka tidak seperti tangga pada umumnya, tangga ini berupa lantai kayu yang dimiringkan hingga menyentuh tanah dan lantai kayu tersebut ditempeli oleh potongan kayu sebagai penahan pijakan  

Bala Rea atau graha besar adalah dua bangunan identik yang terdapat di dalam rumah adat Dalam Loka yang setiap bangunannya memiliki fungsi.

Pada bagian dalam bangunan terdapat beberapa ruangan yaitu, Lunyuk Agung, Lunyuk Mas, Ruang Dalam, dan Ruang Sidang.

Lunyuk Agung berada pada bagian depan bangunan yang difungsikan untuk ruang bermusyawarah, pernikahan, pertemuan atau acara kerajaan.

Lunyuk Mas adalah ruangan utama untuk permaisuri, istri para menteri dan staf penting kerajaan saat  upacara adat.

Ruang Dalam sebelah barat disekat oleh kelambu yang digunakan untuk tempat sholat, di sebelah utara adalah kamar tidur permaisuri.

Ruang Dalam sebelah timur memiliki empat kamar khusus untuk keturunan raja yang sudah menikah dan di sebelah utara adalah kamar pengasuh rumah tangga istana.

Ruang sidang terletak di bagian belakang Bala Rea, namun pada malam harinya digunakan oleh para dayang sebagai kamar tidur.

Sedangkan kamar mandi terletak di luar ruangan utama yang memanjang dari kamar raja hingga kamar permaisuri.

Dan yang terakhir adalah Bala Bulo yang memiliki dua tingkat dan berada di samping Lunyuk Mas.

Tingkat pertama adalah tempat permainan keturunan raja dan tingkat kedua adalah tempat permaisuri dan istri para bangsawan saat menyaksikan pertunjukan di lapangan istana.

Anak tangga menuju tingkat dua berjumlah 17 anak tangga. Jumlah tersebut mewakili  17 rukun sholat.

Di luar komplek ini terdapat kebun istana (kaban alas), gapura atau tembok istana (bala buko), rumah jam (bala jam) dan tempat untuk lonceng istana.

Lonceng pada istana ini ukurannya sangat besar dan berasal dari Belanda.

Pada masa itu, lonceng ini dibunyikan oleh seorang petugas setiap waktu, sehingga seluruh penduduk dapat mengetahui waktu saat itu.



B.  Rumah Bale
Bale adalah rumah adat dari suku Sasak yang berada di dusun Sade di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah.
rumah bale
Kehebatan dari dusun Sade adalah keteguhannya melestarikan rumah adat ini.

Suku sasak memiliki aturan-aturan untuk membangun rumah, yaitu memilih waktu membangun dan juga lokasi pembangunan.

Karena mereka mempercayai jika tidak mengikuti aturan akan mendapat nasib buruk saat menempati rumah. 

Rumah adat suku Sasak di dusun Sade terdiri dari berbagai macam Bale yang semuanya beratap jerami atau alang –alang dan memiliki fungsi tersendiri.

Diantaranya Bale Lumbung, Bale Tani, Bale Jajar, Berugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq Bencingah, Bale Tajuk, Bale Gunung Rate, Bale Balaq dan Bale Kodong.

1.   Bale Lumbung
Bale lumbung ditetapkan sebagai ciri khas rumah adat suku sasak dari pulau Lombok.

Hal ini disebabkan bentuknya yang sangat unik dan menarik yaitu berupa rumah panggung dengan ujung atap yang runcing kemudian melebar sedikit lalu lurus ke bawah dan bagian bawahnya melebar kembali dengan jarak atap 1,5 - 2,0 meter dari tanah dan diameter 1,5 – 3,0 meter.

Atap dan bubungannya dibuat dari jerami atau alang – alang, dindingnya terbuat dari anyaman bambu (bedek), lantainya menggunakan papan kayu dan bale lumbung ini disangga oleh empat tiang yang terbuat dari tanah dan  batu sebagai fondasi.

Bagian atap dari bale lumbung merupakan suatu ruangan yang digunakan untuk menaruh padi hasil dari beberapa kepala keluarga.

Bentuknya berupa rumah panggung dimaksudkan untuk menghindari hasil panen rusak akibat banjir dan serangan tikus.

2.   Bale Tani
Rumah ini dihuni oleh suku Sasak yang memiliki pekerjaan sebagai petani.

Bale Tani ini memiliki satu pintu masuk yang kecil dan tanpa jendela.

Atapnya terbuat dari alang – alang membentuk limasan yang memanjang hingga ujung atapnya (serambi) mendekati tanah. 

Dinding dan penyekat setiap ruangan terbuat dari anyaman bambu (bedek), sedangkan tiang penopang rumah terbuat dari batangan bambu dan selain itu bambu juga digunakan membuat paku.

Bale Tani memiliki lantai yang terbuat dari kombinasi antara tanah liat, batu bata, abu jerami, getah pohon dan kotoran sapi atau kerbau.

Kombinasi antara tanah liat dan kotoran ternak dilakukan karena dapat membuat lantai tanah mengeras

Selain itu mereka terbiasa melapisi lantai dengan kotoran ternak untuk menjaga agar lantai tidak retak, rumah menjadi lebih hangat dan pengusir nyamuk.

Walaupun dilapisi oleh kotoran ternak tetapi rumah tidak menjadi bau karena kotoran sudah dibakar dan dihaluskan terlebih dahulu.

Ruangan pada Bale Tani terdiri dari Bale Luar atau disebut juga Sesangkok (serambi) yang digunakan sebagai tempat menerima tamu dan kamar tidur dan juga Bale Dalam yang terbagi lagi menjadi Dalem Bale (kamar) dan Pawon (dapur).

Dalem Bale ini khusus digunakan oleh anggota keluarga perempuan, diantaranya tempat menaruh harta berharga, ruang tidur anak gadis, ruang persalinan, dan ruang menaruh jenazah sebelum dikuburkan.

Pada dapur terdapat dua tungku untuk memasak yang menempel pada lantai dan sempare yaitu wadah untuk menaruh bahan pangan dan peralatan dapur yang terbuat dari bambu.

Dalem Bale berada di atas Luar Bale sehingga untuk mencapai Dalem Bale terdapat tiga anak tangga.

Tiga anak tangga ini memiliki arti Wetu Telu yaitu kepercayaan tiga waktu oleh suku sasak yang terdiri dari lahir, tumbuh dan mati.

Saat Islam mulai memasuki Pulau Lombok, suku sasak melakukan sholat sesuai adat Wetu Telu yaitu sholat tiga waktu.

Namun saat ini warga Sade telah menunaikan sholat lima waktu atau Wetu Lima yang ditandai dengan tambahan dua tangga pada bagian muka Bale Luar di Bale Tani.

Setelah melewati tangga teratas terdapat satu pintu masuk untuk memasuki ruang Bale Dalem, cara membuka pintu dengan cara digeser yang disebut Lawang Kuri .

3.   Bale Jajar
Bale jajar adalah tempat hunian suku sasak dengan ekonomi menegah ke atas.

Bentuknya serupa dengan Bale Tani, perbedaannya terletak pada ruang Dalem Bale yang lebih banyak.

Bale Jajar memiliki dua Dalem Bale dan satu serambi (sesangkok) dan ditandai dengan adanya sambi yaitu tempat penyimpanan bahan makanan dan keperluan rumah tangga.

Pada bagian depan Bale Jajar terdapat sekepat dan pada bagian belakangnya terdapat sekenam yang akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya.

4.   Berugaq atau Sekepat

Berugaq sekepat berbentuk seperti saung, yaitu berupa panggung tanpa dinding, beratap alang – alang dan ditopang oleh empat tiang bambu membentuk segi empat.  

Lantai terbuat dari papan kayu atau bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal (Peppit)  dan tingginya 40–50 cm dari tanah dan terletak di bagian depan Bale Jajar.

Sekepat ini biasa digunakan untuk menerima tamu karena tradisi sasak tidak menerima sembarang orang ke dalam rumah.

Bila pemilik rumah memiliki anak perempuan, sekepat dapat digunakan untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar).

Selain itu juga digunakan untuk berkumpul dan beristirahat setelah kerja di sawah.

5.   Berugaq Sekenam
Sekenam memiliki bentuk yang serupa dengan berugaq sekepat, perbedaannya terletak dari jumlah tiangnya yaitu sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. 

Sekenam digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.

6.   Bale Bonder
Bale Bonder atau disebut juga Gedeng Pengukuhan memiliki design segi empat bujur sangkar dan ditopang oleh tiang dengan jumlah minimum 9 tiang dan maksimum 18 tiang.

Dindingnya terbuat dari anyaman bamboo dan bagian dalamnya seperti ruang serbaguna.

Atapnya tidak memakai nock/sun, namun ujung atapnya menggunakan penutup berbentuk kopyah berwarna hitam.

Bale Bonder biasanya dihuni oleh pejabat desa atau dusun dan terletak di tengah pemukiman.

Fungsinya yaitu sebagai tempat persidangan adat, seperti tempat diselesaikannya kasus pelanggaran hukum adat.

Selain itu Bale Bonder digunakan sebagai tempat menaruh benda-benda bersejarah atau pusaka warisan keluarga. 

7.   Bale Beleq Bencingah
Bale Beleq Bencingah biasa digunakan pada masa kerajaan dahulu.

Fungsinya yaitu sebagai tempat acara-acara penting kerajaan, diantaranya pelantikan pejabat kerajaan, pengukuhan putra mahkota kerajaan dan para Kiai penghulu kerajaan, tempat penyimpanan benda pusaka kerajaan, dan sebagainya. 

8.   Bale Tajuk
Bale tajuk memiliki bentuk segi lima dan ditopang oleh lima tiang .

Bale Tajuk adalah sarana pendukung bagi rumah yang memiliki keluarga besar.

Tempat ini digunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah wawasan dan tata krama.

9.   Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Bale Gunung Rate dan bale Balaq merupakan jenis hunian yang didirikan pada daerah dengan kondisi geografis tertentu.

Bale Gunung Rate didirikan oleh warga yang bermukim di lereng pegunungan sedangkan bale Balaq didirikan berupa rumah panggung untuk menghindari bencana banjir.

10.       Bale Kodong
Bale Kodong memiliki ukurann yang sangat kecil dan rendah,  tingginya kira-kira seukuran orang dewasa.

Bale ini umumnya digunakan oleh para pengantin baru atau orang lanjut usia yang tinggal bersama cucu-cucunya.