A. Sekilas
Tentang Rumah Joglo
Joglo sebagai rumah
tradisional dikenal memiliki desain yang tidak sembarangan. Rumah joglo merupakan
rumah adat Jawa Tengah yang dibangun berlandaskan keyakinan atau filosofi Jawa.
Penyebutan
rumah joglo terjadi akibat bentuk atap rumah joglo yang menyerupai dua gunung
atau tajug loro (juglo) dan berkembang penyebutannya menjadi joglo.
Penggunaan gunung diyakini oleh masyarakat Jawa saat itu sebagai tempat suci atau rumah para dewa.
Penggunaan gunung diyakini oleh masyarakat Jawa saat itu sebagai tempat suci atau rumah para dewa.
Sama seperti rumah
adat di daerah lainnya, Joglo juga bisa dijadikan acuan untuk menakar status
sosial seseorang.
Di masa lalu, rumah joglo melambangkan kekayaan pemiliknya. Karena rumah ini hanya dimiliki oleh orang-orang mampu pada masanya
Di masa lalu, rumah joglo melambangkan kekayaan pemiliknya. Karena rumah ini hanya dimiliki oleh orang-orang mampu pada masanya
Ciri
khas rumah joglo yaitu teras yang luas tanpa sekat di bagian depan, bentuknya
yang berupa persegi panjang, dan pintu yang terletak tepat di bagian tengah.
Rumah
Joglo dibangun dengan desain arsitektur yang cukup unik. Salah satu keunikan tersebut
terletak pada desain rangka atapnya yang memiliki bubungan cukup tinggi.
Desain
atap yang demikian dihasilkan dari pola tiang-tiang yang menyangga rumah.
Utamanya pada bagian tengah rumah, terdapat 4 tiang berukuran lebih tinggi yang
menyangga beban atap.
Keempat tiang yang kerap disebut “soko guru” ini menyangga dan menjadi tempat pertemuan rangka atap yang menopang beban atap.
Keempat tiang yang kerap disebut “soko guru” ini menyangga dan menjadi tempat pertemuan rangka atap yang menopang beban atap.
Atap rumah adat Jawa Tengah ini sendiri dibuat dari bahan genting tanah. Sebelum genting ditemukan, pada masa silam atap rumah ini juga dibuat dari bahan ijuk atau alang-alang yang dianyam.
Penggunaan
desain rangka atap dengan bubungan tinggi dan material atap dari bahan alam
merupakan salah satu hal yang membuat rumah Joglo terasa dingin dan sejuk.
Adapun
secara keseluruhan, rumah Joglo sendiri lebih banyak menggunakan kayu-kayuan
keras, baik untuk dinding, tiang, rangka atap, pintu, jendela, dan bagian
lainnya.
Kayu
jati adalah pilihan utama yang kerap ditemukan pada rumah-rumah lawas. Kayu
jati sangat awet dan terbukti dapat bertahan lama bahkan hingga ratusan tahun.
Tidak
hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta pun memiliki rumah joglo dengan
ciri khas daerahnya masing-masing.
B.
Struktur
Rumah Joglo
1.
Pendhapa atau Pendopo
Pendhapa atau pendopo merupakan bagian depan rumah yang
terbuka, tidak berdinding, berpagar ataupun bersekat dan tempat tiang Soko Guru
berada.
Kata dasar Pendhapa yaitu Andhap yang berarti rendah, karena
posisinya yang lebih rendah dari Omah Ndalem.
Umumnya ruangan ini dimanfaatkan penghuninya sebagai tempat
pertemuan, menerima tamu, kerabat dan saudara.
Kadang kala tempat ini juga dimanfaatkan sebagai tempat
latihan menari dan kegiatan lainnya.
Ruang depan yang terbuka menggambarkan falsafah penduduk
Jawa yang memiliki sifat ramah, terbuka dan membebaskan siapa saja tamu yang
hendak datang.
Sebagai pengganti meja dan kursi, lantai teras dilapisi
tikar agar suasana dapat lebih santai dan lebih akrab sehingga tidak terdapat
perbedaan status antara penghuni kediaman dan tamu.
Uniknya, walaupun letaknya di bagian depan, jalur utama
untuk memasuki rumah bukanlah dari pendopo akan tetapi melewati pintu samping.
2.
Pringgitan
Pringgitan merupakan suatu ruangan yang mengkoneksikan
pendopo dengan omah njero atau omah dalem.
Pringgitan merupakan sebuah ruangan semi privat yang
biasanya digunakan sebagai ruang tamu untuk menerima tamu atau saudara yang
lebih dekat hubungan kekerabatannya.
Umumnya antara Pendhapa dengan pringgitan tidak dibatasi
oleh sekat sehingga kita dapat melihat pendhapa secara keseluruhan.
Namun sekarang ini banyak juga pringgitan yang diberi sekat atau sketsel dengan pendhapa, sedangkan sekat dengan omah ndalem menggunakan gebyok.
Namun sekarang ini banyak juga pringgitan yang diberi sekat atau sketsel dengan pendhapa, sedangkan sekat dengan omah ndalem menggunakan gebyok.
Masyarakat Jawa dahulu biasa menggunakan Pringgitan untuk
menghelat pagelaran wayang kulit dan para penonton menyaksikan dari pendhapa.
Oleh karena itu ruangan ini disebut Pringgitan yang memiliki
kata dasar Ringgit yang berarti wayang.
Penggunaan Pringgitan sebagai ruang interaksi dan pagelaran
seni menggambarkan falsafah orang Jawa sebagai mahluk sosial, mahluk budaya dan
mahluk Tuhan.
Karena ruangan ini dahulu juga dimanfaatkan untuk upacara atau ruwetan kepada para dewa, namun dengan berkembangnya agama islam ruangan ini digunakan sebagai tempat ibadah.
Karena ruangan ini dahulu juga dimanfaatkan untuk upacara atau ruwetan kepada para dewa, namun dengan berkembangnya agama islam ruangan ini digunakan sebagai tempat ibadah.
3.
Omah Ndalem atau Omah
Njero
Omah Ndalem atau Omah Njero kadang disebut juga sebagai
omah-mburi dan dalem ageng.
Ruangan ini adalah bangunan inti dari rumah joglo dan
merupakan ruangan khusus para penghuni rumah untuk bercengkrama dan bersantai
antar sesama keluarga.
Omah Ndalem terdiri dari ruang keluarga dan beberapa kamar
yang disebut dengan senthong.
Masyarakat dulu hanya membangun senthong sebanyak tiga
senthong, yaitu senthong Kiwo, senthong tengah dan senthong tengen.
Namun masyarakat sekarang ini membuat senthong disesuaikan
dengan jumlah anggota keluarga.
4.
Senthong Kiwo
Senthong Kiwo merupakan kamar yang berada di bagian kiri
omah ndalem, sesuai dengan namanya “Kiwo” yang berarti kiri dalam bahasa Jawa.
Karena posisinya yang lebih dekat dengan dapur Senthong Kiwo
umumnya digunakan untuk menaruh bahan pokok rumah tangga seperti beras dan
bumbu dapur, hasil tani dan lainnya.
Selain itu ruangan ini juga dimanfaatkan juga untuk
menyimpan senjata dan perlengkapan pertanian.
5.
Senthong Tengah
Senthong Tengah merupakan kamar yang berada di bagian
tengah, posisinya paling dalam dan merupakan bagian paling disucikan dan
disakralkan oleh pemilik rumah Joglo.
Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut ruangan ini
sesuai dengan fungsinya, diantaranya krobongan, pasren, pedaringan, sepen dan
Sri.
a)
Krobongan
Krobongan
berarti tempat pembakaran (berasal dari kata “Obong” atau bakar).
Istilah
tersebut diberikan karena senthong tengah biasa digunakan sebagai ruangan
untuk membakar kemenyan ketika si pemilik rumah melakukan upacara pitra yadnya
(pemujaan kepada leluhur).
b)
Pasren
Pasren/pepasren/sesaji
terbentuk dari kata pa-sri-an yang memiliki arti sebagai tempatnya Dewi Sri,
yaitu dewi penguasa tanaman padi.
Saat datangnya
musim panen, para petani membungkus seuntai padi yang pertama kali dipotong
menggunakan kain batik kemudian diletakkan di senthong tengah sebagai
persembahan kepada Dewi Sri. Oleh karena itu pasren disebut sebagai tempat
untuk Dewi Sri.
c)
Pedaringan
Pedaringan
memiliki arti tempat padi (berasal dari kata “Daring” yang berarti gabah
kering). Istilah itu disematkan karena padi identik dengan Dewi Sri.
d)
Sepen
Sepen atau
tempat untuk menyepi, karena ruangan ini sering digunakan oleh penghuninya
untuk berdoa, bermeditasi dan sembahyang.
e)
Sri
Istilah yang
terakhir yaitu Sri sesuai dengan nama Dewi Sri sebagai tempat Dewi Sri
bertandang.
Keberadaan Dewi
Sri diwujudkan dengan dibuatnya patung Loro Blonyo sebagai symbol dewi
kemakmuran.
Senthong tengah ini sengaja tidak ditiduri atau sengaja
dikosongkan oleh sang pemilik rumah.
Dahulu isi ruangan dan kelengkapan prasarana untuk upacara
atau ritual di dalam senthong tengah disesuaikan dengan status ekonomi
pemiliknya.
Untuk masyarakat dengan status ekonomi rendah seperti petani,
senthong tengah hanya diisi dengan sebuah meja sesaji.
Untuk masyarakat keturunan bangsawan dan priyayi, selain
meja sesaji, ruangan juga diisi tempat tidur berukuran kecil, lengkap dengan
kasur, bantal, guling, dan sprei.
Sedangkan pada bangsawan dengan status sosial yang sangat
tinggi, ruang senthong tengah yang mereka miliki berukuran besar, tempat tidur
yang ditaruh mengenakan kelambu, dan diletakkan sepasang arca pengantin di
depan kasurnya.
Salah satu ciri khas senthong tengah adalah kondisi ruangan
yang sangat gelap sekali tanpa ada cahaya yang masuk.
Hal ini terjadi karena posisinya yang berada ditengah dan
tidak terdapat jendela.
Pemilik rumah berdoa dengan keadaan gelap gulita dimana
kondisi ini disebut pati geni yang berarti tidak melihat cahaya atau berada
diruang hampa cahaya.
6.
Senthong Tengen
Senthong Tengen merupakan kamar yang berada di bagian kanan
omah ndalem, sesuai dengan namanya “Tengen” yang berarti kanan dalam bahasa
Jawa.
Umumnya kamar ini dimanfaatkan sebagai ruang tidur khusus
pemilik rumah sehingga sifatnya sangat pribadi dan tertutup untuk dimasuki
orang luar.
Akan tetapi kamar ini lebih multifungsi bila dibandingkan
dengan Senthong Kiwo karena untuk penduduk menengah ke atas pada jaman dahulu.
Ruangan ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan dalam acara resmi (pakaian adat, perhiasan), keperluan upacara (dupa, kemenyan), dan barang pusaka (keris, tombak) yang tersimpan di dalam lemari.
Ruangan ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan dalam acara resmi (pakaian adat, perhiasan), keperluan upacara (dupa, kemenyan), dan barang pusaka (keris, tombak) yang tersimpan di dalam lemari.
Namun bagi masyarakat menengah kebawah biasanya senthong
tengen hanya digunakan sebagai kamar tidur orang tua.
7.
Gandhok Kiwo
Gandhok merupakan ruangan yang terletak di bagian kanan dan
kiri Pringgitan dan Omah Ndalem, bentuknya bangunannya memanjang dan posisinya
berpisah dari bangunan utama dengan halaman terbuka sebagai pemisah.
Umumnya Gandhok dimanfaatkan sebagai ruang tidur bagi
keluarga, saudara dan tempat tamu menginap.
Gandhok terdiri atas
dua bagian yaitu Gandhok Kiwo dan Gandhok Tengen.
Gandhok Kiwo berada di bagian kiri bangunan Omah Ndalem dan
digunakan sebagai ruang tidur para laki-laki.
8.
Gandhok Tengen
Gandhok Tengen berada di bagian kanan bangunan Omah Ndalem
dan digunakan sebagai ruang tidur para perempuan.
Walaupun umumnya digunakan sebagai ruang tidur, adakalanya
Gandhok juga digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan.
9.
Pawon
Pawon atau dapur berada di bagian belakang Omah Ndalem yang
dipisahkan dengan halaman terbuka seperti halnya Gandhok.
Posisi dapur dipisahkan dari bangunan inti karena bangunan
inti dianggap sangat suci dan sacral sehingga tidak baik bila berdekatan dengan
dapur yang kotor.
Dahulu proses memasak masih memakai kayu sebagai sumber
bahan bakar sehingga dapur identik dengan banyaknya abu yang terbentuk dari
hasil pembakaran. Oleh karena itu kata pawon berasal dari kata dasarnya yaitu
awu atau abu.
10.
Pekiwan
Pekiwan dimanfaatkan sebagai kamar mandi dan toilet bagi
para penghuni rumah.
Di dalam pekiwan ini terdapat sumur sebagai sumber air yang
digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak.
Uniknya posisinya jauh terpisah dari bangunan inti yaitu
berada di bagian belakang dapur.
Seperti halnya dapur, Pekiwan dianggap sebagai tempat yang
kotor dan bau sehingga posisinya tidak boleh berdekatan dengan bangunan inti.
11.
Seketheng
Seketheng merupakan dinding pembatas yang terbuat dari batu
bata dan memiliki dua buah gerbang kecil.
Seketheng digunakan sebagai penghubung halaman luar rumah
dengan halaman dalam rumah.
C.
Rumah
Adat Jawa Tengah Lainnya
1.
Rumah Adat Panggang Pe
Selain joglo,
rumah adat jawa lain yang populer yaitu panggang pe.
Panggang pe
terdiri dari empat atau enam tiang. Separuh tiang yang depan sengaja dibuat
lebih pendek daripada tiang di bagian belakang.
Orang Jawa
zaman dahulu umumnya menggunakan rumah panggang pe untuk didirikan sebagai kios
dan warung.
Rumah panggang pe masih terbagi menjadi enam tipe: panggang pe gedhang salirang, empyak satangkep, gedhang satangkep, cere gancet, trajumas, dan barengan.
Rumah panggang pe masih terbagi menjadi enam tipe: panggang pe gedhang salirang, empyak satangkep, gedhang satangkep, cere gancet, trajumas, dan barengan.
Panggang pe
gedhang salirang, empyak satangkep, gedhang setangkep, dan cere gancet memiliki
kesamaan. Ketiganya terdiri dari dua rumah panggang pe yang disatukan.
Tipe trajumas
ialah panggang pe yang punya enam tiang penyangga.
Sedangkan tipe
barengan merupakan dua atau lebih panggang pe yang berderet-deret.
2.
Rumah Adat Tajug
Setiap rumah
adat di Jateng punya filosofi dan fungsinya masing-masing.
Rumah joglo
memiliki fungsi yang berbeda dengan rumah panggang pe. Demikian juga dengan
rumah tajug.
Tipe tajug
khusus digunakan untuk masjid dan bangunan-bangunan suci lainnya. Orang biasa
tidak diperkenankan membangun rumah dengan tipe ini karena rumah tajug termasuk
yang disucikan.
Ciri rumah
tajug yaitu bentuk atapnya yang runcing, bentuknya seperti bujur sangkar (bukan
persegi panjang).
Tajug memiliki
kurang lebih sekitar 13 tipe di antaranya towan boni, masjid dan cungkup, semar
sinongsong, lambang sari, mangkurat, ceblokan, semar tinandu, dll.
Salah satu
masjid dengan tipe tajug yang bisa dikunjungi yaitu Masjid Agung Demak di
Kabupaten Demak.
3.
Rumah Adat Kampung
Rumah adat
kampung hampir mirip seperti dua rumah panngang pe yang disatukan.
Ciri rumah adat kampung ialah, rumah ini punya dua teras yaitu di depan dan di belakang.
Ciri rumah adat kampung ialah, rumah ini punya dua teras yaitu di depan dan di belakang.
Ciri khas
lainnya, tiang rumah ini terdiri dari kelipatan empat dimulai dari angka 8.
Jadi jumlah tiangnya bisa 8, 12, 16, 20, dan kelipatannya. Seperti rumah adat lainnya, rumah kampung juga dibagi menjadi banyak tipe.
Jadi jumlah tiangnya bisa 8, 12, 16, 20, dan kelipatannya. Seperti rumah adat lainnya, rumah kampung juga dibagi menjadi banyak tipe.
Tidak kurang
dari 13 tipe, di antaranya kampung pokok, pacul gowang, dara gepak, gajah
ngombe, apitan, dsb.
Rumah kampung merupakan rumah yang dimiliki rakyat jelata alias dari kalangan orang biasa.
Rumah kampung merupakan rumah yang dimiliki rakyat jelata alias dari kalangan orang biasa.
4.
Rumah Adat Limasan
Dinamakan
limasan karena bentuk atapnya yang seperti limas. Atap rumah limasan memiliki
empat sisi. Rumah ini banyak juga
ditemui di Jawa.
Seperti
kampung, rumah limas dimiliki oleh kalangan orang biasa. Rumah limasan terbagi
menjadi beberapa tipe di antaranya limasan lawakan, gajah njerum, gajah
mungkur, klabang nyander, semar pinondhong, lambang sari, dsb.
Sumber :
http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/11/rumah-adat-jawa-tengah-joglo-gambar-dan.html
http://kebudayaan1.blogspot.co.id/2013/10/rumah-adat-jawa-tengah-joglo.html
http://kebudayaan1.blogspot.co.id/2013/10/rumah-adat-jawa-tengah-joglo.html
No comments:
Post a Comment