Banyak
orang yang salah duga (termasuk saya) tentang rumah adat Bali. Di sekolah
diajarkan bahwa nama rumah adat Bali adalah Gapura Candi Bentar. Jadi yang
terbayang rumah adat Bali bentuknya seperti gapura, menjulang tinggi.
Padahal
Gapura Candi Bentar bagian dari rumah adat Bali tersebut. Karena menjadi ciri
khas rumah adat Bali, maka Gapura Candi Bentar diambil untuk menamakan rumah
adat Bali.
A. Upacara Pembangunan Rumah
Adat Bali
Masyarakat
Bali memulai pembangunan dengan upacara atau ritual. Upacara tersebut antara
lain :
1.
Nyikut
Karang : Proses mengukur tanah
2.
Caru
Pengerukan Karang : ritual persembahan kurban
dan meminta izin untuk membangun rumah
3.
Nasarin
: upacara ritual peletakan batu pertama, yang bertujuan untuk meminta kekuatan
agar bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh
4.
Prayascita
: upacara yang dilakukan oleh pekerja atau tukang agar selalu dibimbing dan
diselamatkan selama bekerja.
B. Aturan dalam Membangun Rumah
Adat Bali
Tidak
sembarangan untuk membangun rumah adat Bali. Undagi (semacam Arsitek atau
perancang rumah adat Bali) harus berpatokan pada Asta Kosala Kosali dan Tri
Angga.
Asta Kosala Kosali adalah aturan tentang tata letak
bangunan baik untuk rumah maupun bangunan suci yang diambil dari kitab suci
Weda.
Karena diambil dari kitab suci tentu saja Asta Kosala
Kosali mempunyai filosofi. Filosofinya menciptakan hubungan yang damai dan
harmonis antara tiga aspek atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Aspek Tri
Hita Kirana yaitu :
a. Pawongan
(manusia atau pemilik rumah)
b. Palemahan
(lokasi atau lingkungan dimana rumah itu dibangun)
c. Parahyangan
(spiritual)
Filosofi ini menggambarkan terbentuknya hubungan yang
bersinergis antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan
manusia dengan alam.
Yang unik dari Asta Kosala Kosali ini adalah satuan
pengukurannya.
Kalau satuan pengukuran yang biasa dipakai menggunakan
satuan meter, sedangkan pengukuran Asta Kosala Kosali menggunakan ukuran dari
tubuh pemilik rumah.
Dengan tujuan agar ukuran rumah sesuai dengan pemilik
rumah.
Satuan ukurannya adalah
:
a.
Amusti
(ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas)
b.
Hasta
(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan
sampai ujung jari tengah yang terbuka)
c.
Depa
(ukuran dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
d.
dan beberapa satuan ukuran
lain.
Diantara aturan Asta Kosala Kosali adalah :
1)
Sudut
Utara-Timur :
area suci atau area baik sehingga pura diletakkan pada sudut ini
2)
Sudut
Selatan-Barat : dianggap lebih rendah atau area buruk
sehingga posisi dapur diletakkan pada sudut ini.
3)
Pemilihan
Tanah Untuk Membangun
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan
diusahakan tanah yang miring ke Timur atau miring ke Utara, pelemahan datar
(asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
Tanah yang dihindari sebagai tanah lokasi membangun
perumahan adalah :
a) karang
karubuhan (tumbak rurung/ jalan)
b) karang
sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan)
c) karang
sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
d) karang
buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan)
e) karang
teledu nginyah (karang tumbak tukad)
f) karang
gerah (karang di hulu Kahyangan)
g) karang
tenget
h) karang
buta salah wetu
i) karang
boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
j) karang
suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
k) tanah
yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas,
dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan kalau disertai dengan
upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang
dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
4)
Penataan Berdasarkan
Kondisi, antara lain :
a)
Pekarangan Sempit. Dengan sempitnya pekarangan,
penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk
itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat
pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur
sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/
Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
b) Rumah Bertingkat. Untuk rumah bertingkat bila
tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh
membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
c)
Rumah Susun. Untuk rumah Susun tinggi
langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat
pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
5)
Ketika
rancangan rumah sudah selesai, dalam proses membangun rumah ada beberapa hal
yang bisa menjadi patokan agar rumah lebih bersinergi positif.
Yaitu sebagai berikut:
a) Bangunan
yang terletak di Timur, lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat Bali
selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.
Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah
tempat suci keluarga yang disebut merajan atau sanggah.
b) Dapur
diletakan di arah Barat (Barat Daya), dihitung dari tempat yang di anggap
sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena
menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
c) Sumur
atau lumbung tempat penyimpanan padi, diletakan di sebelah Timur atau Utara
dapur atau juga di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat
posisi Dewa Air.
d) Bangunan
balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah Utara, sedangkan balai adat atau
balai gede ditempatkan disebelah Timur dapur dan di Selatan balai Bandung. Bangunan
penunjang lainnya diletakkan di sebelah Selatan balai adat.
6)
Penentuan
pintu masuk, mengunakan cara sebagai berikut :
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap
dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur.
Jika membuat pintu masuk lebih dari satu, lebar pintu
masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak
boleh sama.
Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul
– angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garasi.
Jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan
bagi penghuninya, bisa boros atau sakit-sakitan.
Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah Timur
jika rumah menghadap Selatan) diatur jambangan air (pot air) yang diisi ikan.
2.
Tri
Angga
Tri Angga adalah tingkatan yang terdiri dari Nista, Madya
dan Utama.
a.
Nista
merefleksikan hierarki terendah suatu
tingkatan yang diperlihatkan melalui pondasi bangunan atau dasar bangunan
sebagai penopang bangunan diatasnya.
Materialnya terbuat dari batu bata atau batu gunung yang
disusun dengan rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibangun. Nista juga
merefleksikan alam bawah, alam setan atau nafsu.
b.
Madya
merefleksikan bagian tengah bangunan yang diperlihatkan dalam bentuk dinding,
jendela dan pintu. Madya juga merefleksikan strata manusia atau alam manusia.
c.
Utama
merefleksikan simbol dari bangunan bagian
atas yang diperlihatkan dalam bentuk atap rumah.
Masyrakat Bali meyakini bahwa bagian atas merupakan
tempat paling suci dalam rumah dan digambarkan sebagai tempat tinggal dewa atau
leluhur mereka yang sudah berpulang.
Material yang dipakai pada rumah adat Bali adalah atap
ijuk dan alang-alang.
C. Perbedaan Rumah Adat Bali di
Dataran Rendah dengan Rumah Adat Bali di Dataran Tinggi
1.
Rumah
Adat Bali di Dataran Rendah
Karena dataran rendah hawanya lebih panas, maka rumahnya
banyak ruang terbuka, memiliki atap yang tinggi, dan juga halaman yang luas.
2.
Rumah
Adat Bali di Dataran Tinggi
Karena letaknya di daerah yang dingin, maka rumahnya
memiliki atap rendah sehingga ventilasi lebih sedikit agar suhu dalam rumah
tetap hangat.
D.
Warna
Rumah Adat Bali
Rumah
adat Bali umumnya memiliki warna yang natural dan menyejukkan. Dengan dominasi
coklat, krem dan merah bata sehingga memberikan kesan alami dan tidak mencolok.
E. Material Rumah Adat Bali
Material
bangunan rumah adat Bali tergantung kondisi ekonomi pemilik rumah.
Masyarakat
biasa, dinding rumahnya dibangun menggunakan speci yang terbuat dari lumpur
tanah liat
Sedangkan
masyarakat yang mampu, dinding rumahnya dibangun menggunakan tumpukan
bata-bata.
F.
Patung
dan Ukiran Rumah Adat Bali
Selain
sebagai penghias ruangan, penggunaan patung dan ukiran juga memiliki tujuan
lainnya.
Patung
menyimbolkan pemujaan masyarakat Bali
terhadap sang pencipta dan juga rasa syukur.
Sedangkan
ukiran atau pahatan menggambarkan mahluk hidup di bumi yaitu, manusia, binatang
dan tumbuhan.
Ukiran tumbuhan yang terdapat
pada rumah adat Bali antara lain:
1.
Keketusan
: Motif tumbuhan yang dibuat dengan
lengkungan-lengkungan serta bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar,
ditempatkan pada bidang-bidang yang luas.
2.
Kekarangan
: Motif menyerupai tumbuhan lebat dengan daun
terurai ke bawah (menyerupai rumpun perdu), ditempatkan pada sudut kebatasan
sebelah atas (karang simbar), dan jika ditempatkan
pada sendi tiang tugek (karang suring)
3.
Pepatran
: Motif bunga-bungaan (patra sari, patra
pid-pid, patra samblung, patra pal, patra ganggong, patra sulur dan lain-lain),
ditempatkan pada bidang yang sempit seperti tiang-tiang dan blandar
G.
Bagian-Bagian
Rumah Adat Bali
Walaupun
Gapura Candi Bentar menjadi simbol utama rumah adat Bali, namun rumah adat Bali
yang sebenarnya adalah sebuah bangunan yang memiliki bentuk segi empat bukan
seperti gapura.
Rumah
adat Bali berbeda dengan rumah adat lain. Kalau rumah adat lain dalam satu
rumah terbagi menjadi beberapa ruangan, sedangkan rumah adat Bali ruangan
terpisah menjadi beberapa bangunan.
Dengan
kata lain rumah adat lain mempunyai konsep menyatu, sedangkan rumah adat Bali
konsepnya menyebar.
Seluruh
bangunan tersebut di kelilingi oleh tembok atau pagar pemisah dari lingkungan
luar atau disebut panyengker karang (tembok batas rumah). Adapun
bagian-bagian rumah adat Bali adalah :
1.
Sanggah
atau Pamerajan (Pura Keluarga)
Sanggah atau Pamerajan adalah tempat suci bagi keluarga. Kegiatan
sembahyang dan berdoa bagi leluhur dilakukan disini.
Sanggah atau Pamerajan terletak di sudut timur
laut.
Sanggah atau Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a. Sanggah
Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b. Sanggah
Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
c. Sanggah
Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa
yang sama)
2.
Bale
Dangin (Bale Gede)
Bale Dangin/ Bale Gede berfungsi sebagai tempat upacara
adat, juga sebagai tempat beristirahat (tidur)
bila tidak digunakan untuk upacara.
Bale Dangin digunakan para ibu untuk
duduk – duduk membuat benda – benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan
suaminya.
Bale Dangin menggunakan satu bale – bale,
kalau Bale Gede menggunakan dua buah
bale – bale yang terletak di bagian kiri dan kanan.
Bangunan ini terletak di bagian timur atau dangin natah
umah. Bentuk Bangunan Bale Dangin segi empat atau persegi
panjang.
Saka (tiang) terbuat dari kayu, yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus /
astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras / Bale Gede).
Bagian - bagian Bale Dangin :
a. Bebaturan.
Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag atau tangga
sebagai lintasan naik turun lantai kehalaman.
Bagian bawah atau kaki bangunan yang terdiri dari jongkok
asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan.
b. Tembok.
Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola
kepala badan kaki, dihias dengan pepalihan dan ornamen bagian-bagian tertentu.
Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan
konstruksi rangka bangun.
c. Tiang
(Sesaka).
Tiang yang disebut Sesaka adalah
elemen utama dalam bangunan tradisioanl.
Penampang tiang bujur sangkar dengan sisi-sisi
sekitar 10 cm panjang tiang sekitar 220 cm.
d. Lambang/Pementang
Lambang adalah balok belandar sekeliling rangkaian tiang
, lambang rangkap yang disatukan. Balok rangkaian yang dibawah disebut lambang
yang diatas disebut sineb.
3.
Bale
Delod
Bale Delod berfungsi untuk kegiatan adat, antara lain :
a. Bila
salah satu anggota keluarga meninggal, akan disemayamkan disana sebelum prosesi
ngaben dilaksanakan.
b. Tempat
meletakan sesajen atau banten sebelum melaksanakan yadnya.
c. Tempat
untuk melaksanakan manusa yadnya seperti otonan, potong gigi, dan upacara
pemberkatan pernikahan.
Bentuk bangunannya segi empat panjang, dengan
ukuran 355 m x 570 m, dengan tinggi lantai sekitar 0,8 m dengan tiga anak
tangga kearah natah.
Konstruksi terdiri delapan tiang tiga deret di depan dan
ditengah, dua deret dibelakang.
4.
Bale
Meten (Bale Daja)
Bale Meten/ Bale Daja berfungsi
sebagai ruang tidur bagi kepala keluarga atau anak gadis. Bale Meten disebut
juga Bale Daja karena diletakkan di area utara (kaja).
Bale Meten berbentuk persegi panjang dan terdiri dari dua
buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang.
Bale Meten dapat menggunakan sesaka (tiang)
yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras).
Bebaturan (bagian bawah bale) dibangun lebih tinggi dari
pekarangan dan menjadi bangunan tertinggi di dalam rumah adat Bali.
5.
Bale
Dauh (Bale Tiang Sanga)
Bale Dauh (Bale Tiang Sanga) sering juga disebut Bale
Loji berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur anak remaja yang
terletak dibagian Barat.
Bale Dauh terdiri dari satu buah bale dengan posisi
dibagian dalam dan berbentuk persegi panjang.
Bale Dauh menggunakan sesaka (tiang) yang terbuat dari
kayu dan memiliki sebutan yang berbeda tergantung dari jumlah tiang yang
dimiliki.
Bale yang terdiri dari tiang berjumlah 6 disebut sakenem,
bila tiangnya berjumlah 8 disebut sakutus (astasari), dan bila tiangnya
berjumlah 9 disebut sangasari.
Bale Dauh menggunakan bebaturan dengan posisi lantai
lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.
6.
Jineng
(Klumpu)
Jineng (Klumpu) berfungsi sebagai lumbung padi atau
gudang tempat penyimpanan beras. Jineng terletak di bagian tenggara hunian atau
dekat paon (dapur). Atap jineng terbuat dari alang-alang.
Jineng terdiri dari dua lantai, bagian atas untuk menyimpan padi kering, sedangkan bagian bawah
untuk menyimpan padi yang belum kering.
Karena bentuk bangunannya yang unik, menginspirasi banyak
orang menjadikan hotel ataupun bale untuk bersantai dengan bentuk jineng dengan
modifikasi.
Keistimewaan bangunan jineng adalah kedekatan suasana
yang dibangun bersentuhan langsung dengan alam sehingga sangat memberi kesan
rekreasi alami pada para penghuninya.
7.
Paon
(Pewaregan)
Paon berfungsi sebagai dapur atau tempat untuk mengolah
dan memasak makanan penghuni rumah. Terletak di sisi selatan rumah atau barat
daya.
Paon terbagi menjadi dua area. Area pertama disebut
jalikan, yaitu ruang terbuka untuk memasak yang terdapat pemanggang dengan
menggunakan kayu api.
Sedangkan area kedua merupakan sebuah ruangan penyimpanan
makanan dan alat-alat dapur.
Masyarakat Bali mempercayai bahwa dapur merupakan tempat
untuk menghilangkan ilmu hitam atau butha kala yang menempel sampai kerumah.
Bila ada anggota keluarga yang baru pulang berpergian,
harus memasuki dapur terlebih dahulu sebelum memasuki bangunan lainnya.
8.
Aling
– aling
Aling – aling adalah tembok sekat yang terbuatdari batu
setinggi berkisar 150 cm. Berfungsi sebagai pembatas
antara angkul - angkul dengan pekarangan rumah maupun tempat suci.
Selain tembok sekarang ini banyak juga yang menggunakan patung
sebagai aling-aling.
Dengan adanya Aling – aling privasi pemilik rumah terjaga karena pandangan
ke dalam dari arah luar secara langsung
terhalang.
Selain itu aling-aling juga digunakan sebagai
pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah harus menyamping ke
arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah masuk.
Aling-aling juga mampu meningkatkan sifat ruang
positip karena penghalang masuknya pengaruh
jahat (buruk)
9.
Gapura
Candi Bentar / Angkul – Angkul
a.
Gapura
Candi Bentar
Gapura Candi Bentar memiliki julukan gerbang terbelah,
karena bentuk bangunannya seolah menggambarkan satu bangunan candi yang dibelah
menjadi dua tanpa memiliki atap.
Kedua sisinya terpisah sempurna, dan
hanya terhubung dibagian dalam oleh anak-anak tangga yang menjadi jalan masuk.
Gapura Candi Bentar berfungsi sebagai gerbang utama untuk
masuk menuju halaman area rumah atau pintu gerbang terluar.
Selain untuk rumah Gapura Candi Bentar juga ditemukan di
Pura (tempat ibadah umat Hindu di Bali)
b.
Angkul-angkul
Angkul – angkul adalah
pintu masuk utama dan satu-satunya menuju ke dalam rumah adat Bali.
Fungsinya sebagai gapura jalan masuk.
Namun tidak seperti Gapura Candi Bentar, angkul – angkul
memiliki atap yang menghubungkan kedua sisinya. Atapnya berupa piramida dan
terbuat dari rumput kering.
Kesembilan
jenis bangunan di atas adalah standar umum rumah adat Bali, sehingga yang
sering dibahas adalah kesembilan poin tersebut.
Namun
kurang lengkap rasanya bila membahas rumah adat Bali, bila tidak membahas
halamannya.
H. Halaman Rumah Adat Bali
Susunan
halaman rumah adat Bali mengikuti konsep Tri Angga, yaitu Nista Mandala, Madya
Mandala dan Utama Mandala.
1.
Nista
Mandala yaitu bagian belakang halaman dikhususkan
untuk palemahan
2.
Madya
Mandala yaitu bagian tengah yang dikhususkan
untuk pawongan atau penguni rumah
3.
Utama
Mandala yaitu bagian depan yang dikhususkan
untuk tempat suci atau parahyangan.
Elemen halaman yang tidak boleh diabaikan adalah
taman. Untuk mendesain taman gaya bali
berdasarkan konsep asli taman tradisional Bali, harus benar-benar
memperhatikan tiga unsur pokok, yaitu :
1. Satyam (kebenaran)
2. Siwam (kesucian, kemuliaan, dan
kebersihan)
3. Sundaram (keindahan dan keharmonisan).
Selain itu ada
empat komponen yang harus diperhatikan juga, yaitu :
1. Ardha Chandra (bulan sabit) yang berupa elemen
keras dan estetisnya
2. Kayu Kasta Gumani yang berupa elemen tanaman
pemberi kehidupan. Komponen ini kemudian melahirkan konsep Panca Wriksa
(lima pohon pemberi kehidupan), yaitu :
a. Beringin
b. Bodhi
c. Pisang
d. Uduh
e. Peji.
Menurut sumber purana, Panca
Wriksa pada awalnya merupakan tumbuhan yang tumbuh di Taman Nandhana (Istana
Indraloka).
Terdiri dari Wandira (Beringin), Parijataka
(Dadap), Dewandaru (Harichandanaka), Kalpataru, dan Vilva (Maja).
3. Tirta Kamandalu, yaitu elemen air yang
memberikan kesejukan, baik pada jiwa maupun lingkungan alam.
4. Dewi Laksmi yang berupa elemen keindahan
dalam hal keserasian, kedamaian, keharmonisan, dan lingkungan.
Tanaman-tanaman yang biasa digunakan di taman-taman tradisional Bali, mulai
dari area pintu masuk pekarangan depan (angkul-angkul) sampai area natah
(halaman bagian dalam),
antara lain :
1. Pohon Beringin (Ficus Benjamina L)
Memberikan keteduhan terhadap lingkungan dan
memiliki makna simbolis memberikan kedamaian hidup.
Namun, beringin sebaiknya tidak ditanam di area natah (halaman bagian dalam)
karena dalam konsepsi taman tradisional Bali, beringin diyakini menjadi tempat hunian Setan Banaspati yang memberi
pengaruh buruk kepada para penghuni rumah.
2. Pohon Bodhi/Ancak (Hemandia pellata)
Berfungsi religius sebagai tempat meditasi untuk
memohon kehidupan dan kedamaian kepada Tuhan.
3. Pohon Pisang (Musa sapientum L)
Pohon penghasil makanan yang memberikan kehidupan.
4. Pohon Uduh (Caryota mitis)
Berfungsi secara religius dan simbolis sebagai
tempat untuk menerima pituduh, wangsit, atau petuah.
5. Pohon Peji (Drymophleous ovilivacouncis Mart)
Sejenis palem yang dalam aspek
religius magis berfungsi sebagai tempat untuk memuji dan menyembah kebesaran
Tuhan.
6. Kaktus (Pachycereus Sp)
Dianggap sebagai tanaman penolak bala’ dan diyakini
dapat menangkal maksud-maksud yang tidak baik.
Biasanya ditanam di sebelah kanan sebelum pintu
masuk pekarangan. Namun dapat juga ditanam di halaman luar dekat pintu masuk
rumah atau di sekitar dapur.
7. Pohon Dadap Wong (Erythrina variegata)
Pohon berbunga merah ini juga
diyakini dapat menangkal maksud-maksud yang tidak baik atau menolak orang-orang
yang berniat jahat.
Biasanya ditanam di sebelah kiri sebelum pintu masuk
pekarangan, dipasangkan dengan Kaktus.
8. Pohon Palem Waregu (Raphis excelsa)
Diyakini dapat menghancurkan kekuatan negatif yang
lebih kuat sehingga biasanya ditanam setelah pintu masuk pekarangan, di sebelah
dalam pintu masuk pekarangan.
9. Pohon Kelor (Moringa oleifera)
Pohon berdaun bulat telur
kecil-kecil ini digunakan sebagai penangkal kejahatan pamungkas (terakhir) di
pekarangan rumah. Biasanya ditanam di lahan dekat
dapur.
10.
Jepun Petak/Kamboja Putih (Plumeria
acuminata) dan Sudamala/Kamboja Merah (Plumeria rubra).
Kedua jenis tanaman Kamboja ini
memiliki makna filsofi membersihkan dan mensucikan (memarisudha) semua orang
yang akan masuk ke area utama rumah atau area suci. Kedua tanaman ini biasanya ditanam di pintu masuk utama.
11.
Seligi/Kayu Tulak (Phyllanthus
buxifolius Muell. Arg)
Tanaman yang dalam pengobatan
tradisional sering digunakan untuk mengobati sendi terkilir ini dipercaya dapat
menolak dan menghilangkan segala bentuk pikiran buruk.
Sehingga hanya orang-orang yang berpikiran baik
sajalah yang dapat memasuki rumah. Tanaman ini biasanya juga ditanam di sekitar
pintu masuk utama.
12.
Pohon Dewandaru/nagasari (Mesua
ferrea L.)
Pohon berkayu yang termasuk ke
dalam anggota suku manggis-manggisan ini diyakini menjadi pohon kesayangan para
Dewa dan Dewi karena memiliki aura paling putih, besih, dan dingin.
Pohon ini biasanya ditanam di bagian dalam halaman
utama, setelah pintu masuk utama.
13.
Tanaman bunga-bungaan beraroma
wangi seperti mawar, cempaka, kenanga, dadap, kaca piring, dan sejenisnya
Jenis-jenis tanaman yang biasa ditanam di pekarangan
rumah Bali, mulai area pintu masuk pekarangan depan (angkul-angkul)
sampai area natah (halaman dalam) karena diyakini membawa pengaruh
kesucian dan keindahan.
Selain itu juga membantu
pemusatan pikiran kepada Tuhan sehingga sering ditanam juga di sekitar bangunan
suci peribadatan dan digunakan sebagai salah satu kelengkapan utama dalam
upakara.
14.
Pohon buah-buahan seperti
Manggis, Belimbing, dan sejenisnya
Jenis tanaman yang sangat baik untuk ditanam di
halaman dekat dapur dan di bagian luar natah.
15.
Bunga Medori/Widuri Putih (Calotropis
gigantea)
Tanaman perdu besar dengan bunga
berlapis lilin yang dapat berwarna putih atau ungu ini dalam budaya tradisional
Bali merupakan perlambang dari Sang Hyang Iswara (dewa penguasa purwa/arah
timur), sehingga ditanam di bagian timur pekarangan.
16.
Bunga Tunjung/Teratai Putih (Nymphaea
lotus) dan Kelapa Bulan (Cocos nucifera L.)
Tanaman-tanaman ini juga
merupakan perlambang dari Sang Hyang Iswara, sehingga ditanam di
bagian timur pekarangan.
17.
Pohon Pinang/ Jambe (Areca
catechu)
Tanaman ini dalam budaya tradisional Bali merupakan perlambang dari Sang Hyang Brahma
(dewa penguasa daksana/arah selatan), sehingga ditanam di bagian selatan
pekarangan.
18.
Bunga Tunjung Merah (Nymphaea
rubra)
Bunga ini dalam budaya
tradisional Bali juga merupakan perlambang dari Sang Hyang Brahma, sehingga
ditanam di bagian selatan pekarangan.
Selain Tunjung Merah, Kelapa
Udang (Cocos nucifera L ) juga ditanam di bagian selatan pekarangan.
19.
Bunga Siulan (Aglaia odorata
Lour), Kelapa Gading (Cocos nucifera L) dan Tunjung Kuning (Nymphaea
mexicana)
Merupakan perlambang Dewa Mahadewa penguasa pascima
(arah barat), sehingga bunga-bunga ini ditanam di bagian barat pekarangan.
20.
Bunga Telang Biru (Clitoria
ternatea), Kelapa Gadang (Cocos nucifera L) dan Tunjung Biru (Nymphaea
caerulea)
Merupakan perlambang Sang Hyang Wisnu penguasa
uttara (arah utara), sehingga ditanam di bagian utara pekarangan.
21.
Bunga Tunjung Pancawarna dan
Kelapa Sudamala
Merupakan perlambangan dari Dewa Syiwa sehingga
ditanam di tengah-tengah pekarangan.
22.
Bunga Ratna atau Bunga Kenop (Gomphrena
globosa L)
Tanaman cantik ini berbunga bulat
pink keunguan. Dalam kisah Adiparwa digunakan sebagai sarana untuk untuk
menciptakan wujud seorang putri cantik jelita bernama Tilotama.
Yang ditugaskan menggoda dua orang raksasa
kembar yang sedang bertapa dengan tujuan menguasai surga.
Bunga ini selain berfungsi
sebagai elemen estetis di pekarangan juga merupakan salah satu bunga utama pada
upacara-upacara keagamaan di Bali.
No comments:
Post a Comment