3 Jenis Tari Tradisional Gorontalo

tari tradisional gorontalo

1.   Tari Dana - Dana
Tarian ini termasuk jenis tarian pergaulan masyarakat yang biasanya ditampilkan oleh penari pria maupun penari wanita.
Selain itu tarian ini juga merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya masyarakat setempat, hal itu terlihat dari gerakan penari dan pengiringnya.
Tari Dana Dana merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Gorontalo dan sering ditampilkan di berbagai acara seperti penyambutan, perayaan hari besar dan lain-lain.

4 Jenis Rumah Adat Gorontalo

rumah adat gorontalo

Gorontalo memiliki empat rumah adat yang menjadi ciri khas provinsi Gorontalo, antara lain :
1.   Rumah adat Dulohupa yang berada di kota Gorontalo
2.   Rumah adat Bandayo Poboide yang berada di Limboto
3.   Rumah adat Ma’lihe atau Potiwaluya
4.   Rumah adat Gobel yang berada di Bone Bolango.
Diantara keempat rumah adat tersebut, rumah adat dulohupa dan rumah adat bandayo poboide yang sering di bahas.
Sedangkan rumah adat yang dua lagi jarang dibahas orang.

1.   Rumah Adat Dulohupa
Rumah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.
rumah dulohupa
Rumah Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo oleh penduduk Gorontalo.
Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya terbuat dari papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo.
Selain itu rumah adat Dulohupa juga dilengkapi pilar-pilar kayu sebagai hiasan serta lambang dari rumah adat Gorontalo
Memiliki dua tangga yang berada di bagian kiri dan kanan rumah adat, yang menjadi symbol tangga adat atau disebut tolitihu.
Rumah adat Dulohupa dibangun berupa rumah panggung.
Hal ini dilakukan sebagai penggambaran dari badan manusia yaitu atap menggambarkan kepala, badan rumah menggambarkan badan, dan  pilar penyangga rumah menggambarkan kaki.
Selain itu bentuk rumah panggung juga dipilih untuk menghindari terjadinya banjir yang kala itu sering terjadi. 
Rumah adat Dulohupa di Gorontalo dibangun berlandaskan prinsip-prinsip dan kepercayaan.
Bagian atap rumah adat Dulohupa terbuat dari jerami terbaik dan berbentuk seperti pelana yaitu atap segitiga bersusun dua yang menggambarkan syariat dan adat penduduk Gorontalo.
Atap bagian atas menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agama merupakan kepentingan utama di atas yang lainnya. Sedangkan atap bagian bawah menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap adat istiadat serta budaya.
Pada bagian puncak atap dahulu terdapat dua batang kayu yang dipasang bersilang pada puncak atap atau disebut Talapua. 
Penduduk Gorontalo percaya bahwa Talapua dapat menangkal roh – roh jahat, namun seiring perkembangan kepercayaan islami, sekarang Talapua sudah tidak di pasang lagi.
Pada bagian dinding depan terdapat Tange lo bu’ulu yang tergantung di samping pintu masuk rumah adat Dulohupa.
Tange lo bu’ulu ini menggambarkan kesejahteraan penduduk gorontalo.
Sedangkan bagian dalam rumah adat Dulohupa bergaya terbuka karena tidak banyak terdapat sekat.
Selain itu di dalam rumah adat terdapat anjungan yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarga kerajaan.
Rumah adat Dulohupa memiliki banyak pilar-pilar kayu.
Selain sebagai penyokong karena bentuknya berupa rumah panggung, pilar-pilar tersebut juga memiliki makna tersendiri.
Pada rumah adat Dulohupa terdapat beberapa jenis pilar yaitu, pilar utama atau wolihi berjumlah 2 buah, pilar depan berjumlah 6 buah, dan pilar dasar atau potu berjumlah 32 buah.
Pilar utama atau wolihi menempel di atas tanah langsung ke rangka atap.
Pilar ini merupakan simbol ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua bersaudara 14 Gorontalo-Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada tahun 1664.
Selain itu angka 2 menggambarkan delito (pola) adat dan syariat sebagai prinsip hidup penduduk Gorontalo dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti pilar utama, pilar depan juga menempel di atas tanah langsung ke rangka atap. Pilar ini menggambarkan 6 sifat utama atau ciri penduduk lou dulowo limo lopahalaa yaitu :
a.   sifat tinepo atau tenggang rasa
b.   sifat tombulao atau hormat
c.   sifat tombulu atau bakti kepada penguasa
d.   sifat wuudu atau sesuai kewajaran
e.   sifat adati atau patuh kepada peraturan
f.     sifat butoo atau taat pada keputusan hakim. 
Sedangkan jumlah pilar dasar atau potu menggambarkan 32 penjuru mata angin.
Pada masanya pilar ini dikhususkan untuk golongan raja dan bangsawan.
Bentuk pilar pada bagian depan/serambi berbentuk persegi berjumlah 4, 6 atau 8.
Hal ini menggambarkan banyaknya budak yang dimiliki oleh raja.
Namun seiring perjalanan waktu jumlah pilar ini tetap digunakan walaupun bukan pada rumah bangsawan dan tidak lagi menggambarkan makna tertentu.
Selain pilar, jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa juga memiliki makna tersendiri.
Jumlah anak tangga terdiri dari 5 – 7 anak tangga.
Angka 5 menggambarkan rukun islam dan 5 filosofi hidup penduduk Gorontalo, yaitu :
a.   Bangusa talalo atau menjaga keturunan
b.   Lipu poduluwalo atau mengabadikan diri untuk membela negeri
c.   Batanga pomaya
d.   Upango potombulu
e.   Nyawa podungalo yang berarti mempertaruhkan nyawa untuk mewakafkan dan mengorbankan harta.
Sedangkan angka 7 menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada manusia yaitu :
a.   Amarah
b.   Lauwamah
c.   Mulhimah
d.   Muthmainnah
e.   Rathiah
f.     Mardhiah
g.   Kamilan.
Dulohupa merupakan bahasa daerah Gorontalo yang berarti mufakat atau kesepakatan.
Dahulu, rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarah keluarga kerajaan, merencanakan kegiatan pembangunan daerah serta menyelesaikan permasalahan penduduk setempat dan sebagai ruang sidang kerajaan bagi pengkhianat negara melalui sidang tiga tahap pemerintahan yaitu Buwatulo Bala (Tahap keamanan), Buwatulo Syara (tahap hukum agama Islam) dan Bawatulo Adati (Tahap hukum adat)
Namun saat ini, rumah adat Dulohupa digunakan untuk pagelaran upacara adat, seperti upacara adat pernikahan dan pagelaran budaya dan seni di Gorontalo.
Di dalam rumah adat ini terdapat perlengkapan untuk upacara perkawinan, pelaminan dan benda-benda berharga lainnya.
Di dalam rumah adat Dulohupa penduduk adat Gorontalo perkawinan berupa pelaminan, busana adat pengantin, dan perhiasan lainnya.

2.   Rumah Adat Bandayo Poboide
Rumah adat Bandayo Poboide berada di depan rumah dinas Bupati Gorontalo.
Desainnya tidak begitu berbeda dengan rumah adat Dulohupa, perbedaannya terletak pada bagian dalam rumah, dimana rumah adat Bandayo Poboide memiliki banyak sekat.
rumah bandayo poboide
Rumah adat Poboide berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi hingga mampu bertahan hingga saat ini.
Secara keseluruhan bahan yang digunakan untuk membangun rumah adat ini adalah kayu.
Ada dua jenis kayu yang digunakan, yaitu kayu cokelat dan kayu hitam.
Kayu cokelat kemerahan memiliki serat lurus.
Kayu ini tampak mendominasi seluruh bangunan.
Kayu berwarna hitam dipergunakan sebagai kusen, pegangan tangga, dan pagar balkon.
Kayu hitam juga dipakai sebagai ukiran lubang angin.
Ukiran halus pada lubang angin di atas pintu bermotifkan tumbuhan dan bunga yang berlubang-lubang.
Dinding, daun pintu, jendela, dan lantai dibuat dari kayu cokelat kemerahan, dipernis tipis.
Semua kusen, tulang pintu, jendela, dan pegangan tangga serta balkon dibuat dari kayu hitam.
Dua buah tangga yang cukup lebar, secara simetris terletak di depan bangunan.
Keduanya mengapit balkon yang merupakan bagian serambi depan.
Pada sayap kanan dan kiri terdapat ruang terbuka yang lebih rendah daripada bagian panggung bangunan utama.
Akan tetapi, kedua ruangan itu tetap lebih tinggi dari permukaan tanah.
Ruangan itu merupakan aula terbuka bagi serambi kanan dan kiri bangunan utama.
Sepasang tangga yang masing-masing terletak di sayap kanan dan kiri, menghubungkan serambi kanan dan serambi kiri bangunan utama.
Dengan demikian, tanpa melalui tangga utama di depan bangunan, orang dapat keluar dari serambi kanan atau kiri menuju aula terbuka di sayap bangunan utama.
Keseluruhan bangunan Bandayo Poboide ini terbagi atas lima bagian.
a.   Serambi luar atau depan.
b.   Ruang tamu. Ruang ini merupakan ruangan memanjang dengan sebuah kamar di tiap-tiap ujung kanan dan kirinya.
c.   Ruang tengah merupakan ruangan terluas diantara kelima bagian yang lain.
Di ruangan ini terdapat dua buah kamar yang keduanya terletak di sisi kiri ruangan.
d.   Ruang dalam memiliki luas dan bentuk yang sama dengan ruang tamu.
Dua buah kamar juga terdapat di tiap-tiap ujung kanan dan kiri ruangan ini. 
Selain mempunyai pintu pada setiap kamar, di bagian dalam ini juga mempunyai pintu yang menuju keserambi samping.
e.   Ruang belakang tempat dapur, kamar mandi, dan kamar-kamar kecil.
Tidak seperti di ruangan lainnya, kamar-kamar di ruang belakang ini terletak berderet memanjang.
Pada tiap-tiap ujung kanan dan kirinya terdapat sebuah pintu keluar menuju serambi samping.

Kata Bandayo memiliki arti gedung atau bangunan sedangkan kata Poboide atau Po Boide memiliki arti tempat untuk bermusyawarah.
Sehingga sama seperti fungsi dari rumah adat Doluhapa, rumah adat Bandayo Poboide juga digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah, hanya letaknya yang berbeda.
Dahulu rumah adat Bandayo Poboide juga digunakan sebagai istana raja sebagai pusat pemerintahan dan tempat berkumpulnya para tetua adat dalam membicarakan prosesi adat dan juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo.
Namun sekarang ini rumah adat Bandayo Poboide menjadi tempat melestarian dan mengembangkan seni dan budaya daerah Gorontalo.
Jika dicermati secara keseluruhan, arsitektur rumah adat Gorontalo ini (baik rumah adat Doluhapa dan juga Bandayo Pomboide) banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang memang tumbuh dan mengakar kuat di wilayah Gorontalo dahulu kala.

3.   Rumah Adat Ma’lihe atau Rumah Adat Potiwoluya
Rumah Adat Ma’lihe atau Rumah Adat Potiwoluya merupakan rumah adat yang digunakan sebagai tempat tinggal penduduk Gorontalo.
Dalam bahasa Gorontalo Ma’lihe berarti mahligai.
rumah malihe
Rumah Adat Ma’lihe ini berupa rumah panggung yang membentuk bujur sangkar atau persegi empat yang ditopang oleh pilar dengan tinggi pilar satu sampai empat meter.
Atap rumah adat Ma’lihe ini juga berbentuk persegi panjang, tampak depan atap (watopo) membentuk segitiga dan tampak samping atap membentuk jajaran genjang.
Bahan atap menggunakan daun rumbia  dan bahan dinding rumah menggunakan bambu yang dibelah dan dianyam.
Bangunan ini memiliki kamar tidur, ruang tamu, dapur dan serambi dan setiap kamar dilengkapi jendela.
Pembangunan tempat tinggal penduduk Gorontalo ini juga dibangun melalui prinsip hidup penduduk Gorontalo.
Pengukuran ketinggian, panjang dan lebar rumah dilakukan dengan aturan tertentu yaitu, aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil pengurangan dibagi 8.
Angka 8 digunakan karena menggambarkan keadaan yang selalu terjadi pada diri manusia, yaitu :
a.   Rahmat
b.   Celaka
c.   Untung
d.   Rugi
e.   Kelahiran
f.     Kematian
g.   Umur
h.   Hangus
Ruangan bagian dalam bangunan berbentuk segiempat yang menggambarkan empat kekuatan alam yakni air, api, angin, dan tanah.
Saat baru dibangun rumah hanya boleh memiliki 3 kamar terlebih dahulu, setelah ditinggali baru boleh dibangun kamar tambahan.
Hal ini menggambarkan kepercayaan penduduk gorontalo tentang 3 tahapan keadaban manusia yakni bermula dari tidak ada, ada dan berakhir dengan tiada (alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat).
Pembagian kamar tidur pun memiliki aturan tertentu dimana kamar anak laki-laki dibangun di bagian depan dan kamar anak perempuan di bagian belakang.
Selain itu terdapat pula aturan penerimaan tamu ke dalam ruang tamu.
Tamu pria hanya boleh diterima di serambi atau teras sedangkan tamu wanita harus masuk ke dalam ruang tamu.
Hal ini sesuai dengan syariat islam yang dipegang oleh para penduduk Gorontalo untuk menghindarkan bertemunya pria dan wanita yang bukan mahramnya.
Penduduk Gorontalo memiliki kepercayaan mengenai posisi kamar berjejer kebelakang
Atau posisi bersilang dengan posisi kamar tidur utama berada pada sisi kanan pintu masuk rumah
Yaitu bila pemilik rumah pergi dari rumah, ia akan tetap ingat untuk pulang.
Selain itu arah kamar dibuat sesuai arah aliran sungai, hal ini dipercaya bisa mendapatkan rejeki yang terus mengalir seperti derasnya aliran air sungai.
Posisi dapur dan bangunan utama dipisahkan oleh sebuah jembatan.
Pemisahan ini dilakukan karena dapur merupakan rahasia pemilik rumah, sehingga setiap tamu yang berkunjung tidak boleh melewati jembatan tersebut.
Selain itu posisi dapur tidak boleh mengarah ke arah kiblat, karena penduduk jaman dahulu percaya rumah akan menjadi mudah terbakar. 

4.   Rumah Adat Gobel
Rumah adat Gobel adalah salah satu rumah adat yang berlokasi di Kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango.
rumah adat gobel
Akan tetapi tidak banyak sumber yang membahas mengenai rumah adat ini.
Dahulu rumah adat Gobel merupakan rumah keluarga kerajaan Raja Gobel.
Namun saat ini rumah adat Gobel sering digunakan untuk acara – acara resmi pemerintah setempat.









Perlengkapan Pakaian Adat Gorontalo

pakaian adat gorontalo

Pakaian adat Gorontalo umumnya terdiri atas tiga warna yaitu warna ungu, warna kuning keemasan, dan warna hijau.
Sedangkan dalam upacara pernikahan adat Gorontalo, masyarakat hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. 
Masing-masing warna tersebut dipercaya memiliki arti tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Penggunaan warna merah dalam pakaian adat gorontalo memiliki makna keberanian dan tanggung jawab, warna hijau sebagai lambang kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan, warna kuning emas untuk melambangkan kemuliaan, kesetiaan, kebesaran, dan kejujuran.
Sementara warna ungu digunakan sebagai simbol keanggunanan dan kewibawaan.
Masyarakat Gorontalo umumnya menghindari pengunaan pakaian dengan warna coklat yang menyerupai unsur tanah, dan lebih memilih warna hitam yang dianggap sebagai simbol keteguhan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa jika ingin menggunakan pakaian yang berwarna gelap. Sementara untuk keperluan ibadah dan melayat, dipilihlah pakaian berwarna putih yang bermakna kesucian atau kedukaan.
Warna biru muda sering kali dikenakan pada saat peringatan 40 hari duka, sedangkan warna bitu tua biasanya digunakan pada peringatan 100 hari duka untuk menghormati orang yang telah meningal.
Pemahaman itulah yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pemilihan warna merah, hijau, kuning emas, dan ungu pada perhiasan upacara pernikahan masyarakat Gorontalo.
Pakaian daerah yang dikenakan oleh pengantin wanita dalam adat Gorontalo disebut dengan nama Biliu yang terdiri atas blus dan rok panjang yang memperlihatkan ayuwa (sukap) dan popoli (tingkah laku), termasuk sifat dan pembawaan didalam lingkungan keluarga.
Sedangkan pakaian adat yang dikenakan oleh mempelai pria diberi nama Makuta.

A.  Pakaian Adat Gorontalo
Dalam melaksanakan rangkaian upacara adat perkawinan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita masyarakat Gorontalo memakai beberapa jenis pakaian yang disesuaikan dengan tahapan upacara.

1.   Tahapan pertama adalah upacara mengantar harta (modutu), yaitu penyerahan sejumlah harta berupa uang atau barang kepada pihak mempelai wanita.
Pada upacara ini, biasanya mempelai pria hanya tinggal di rumah dengan memakai pakaian bebas, sedangkan mempelai wanita memakai pakaian pengantin yang disebut walimomo.
Pakaian walimomo terdiri atas baju blus berlengan pendek, seperti bolero dan kain sarung.
Pada bagian depan baju diberi selembar kain yang dirempel, sedangkan bagian lainnya diberi hiasan warna kuning keemasan.
Baju walimomo dibuat dari jenis kain beludru, brokat, atau jenis bahan lainnya yang sesuai.
Pada umumnya warna baju yang dikenakan adalah warna-warna terang dan mencolok, seperti warna kuning, merah, hijau, dan ungu.
Perhiasan dan aksesoris yang terdapat pada pakaian ini adalah tusuk konde (sunthi).
Sunthi ini dibuat dari logam yang disepuh keemasan.
Sunthi yang dikenakan sejumlah dua belas buah.
Bentuk sunthi biasanya menyerupai kepala burung sehingga disebut sunthi burungi.
Bagi wanita Gorontalo pakaian ini melambangkan peralihan dari masa remaja ke masa ibu rumah tangga.

2.   Tahap kedua dalam masa perkawinan adat Gorontalo adalah akad nikah (akaji).
Pada tahap ini pengantin wanita mengenakan baju madipungu, baju gelenggo, atau boqo tunggohu.
Perbedaan ketiga jenis baju ini terletak pada panjang dan pendeknya lengan baju.
Bentuk pakaian madipungu adalah baju blus lengan panjang seperti baju kurung dengan model pada bagian leher membentuk huruf "V".
Bahan yang digunakan biasanya kain satin, beludru, brokat atau bahan kain lainnya.
Pakaian bagian bawah berupa sarung atau rok panjang yang dipakai di luar baju.
Kelengkapan pakaian madipungu terdiri atas baju, kain sarung, dan berbagai aksesoris.
Sementara itu, pada acara akad nikah pengantin pria mengenakan pakaian berupa baju boqo takowa atau takowa, celana panjang (talala), dan aksesoris.
Bentuk bajunya sama dengan kemeja lengan panjang, hanya saja kerahnya berdiri tegak.
Di bagian depan baju diberi kancing dan tiga buah saku.
Satu saku disebelah kiri atas dan saku lainnya di bagian bawah kiri dan kanan.
Bagian dada baju dan saku diberi hiasan corak kain krawang dengan memakai benang emas. Celana panjangnya juga diberi hiasan corak keemasan (tambio).
Pada sisi kiri dan kanan celana ditempeli pita warna kuning keemasan yang disebut pihi.
Warna celana yang dikenakan biasanya sama dengan baju atas.
Demikian juga dengan pakaian yang dikenakan oleh pengantin wanita.
Warna yang dipilih salah satu dari warna merah, kuning, hijau, ungu, dan merah hati.
Warna itu menunjukkan bahwa pada masa dahulu pernah ada lima kerajaan di Gorontalo.
Jenis aksesoris yang dikenakan pada baju takowa adalah payunga.
Payunga adalah tutup kepala yang dihiasi kain warna-warni.
Aksesoris lainnya adalah ikat pinggang (etango) yang terbuat dari emas sepuhan serta keris pusaka (patatimbo) yang diselipkan dibagian depan pinggang.

3.   Rangkaian terakhir dari upacara perkawinan adat Gorontalo adalah bersanding di pelaminan (mopo pipide).
Pengantin wanita mengenakan pakaian kebesaran yang dipakai oleh istri raja di zaman dahulu. Pakaian kebesaran ini disebut biliu.
Pakaian ini terdiri atas baju lengan panjang, kain panjang atau rok panjang, aksesoris dan perhiasan.
Pengantin pria mengenakan baju paluwawa, yaitu semacam baju takowa yang terdiri atas baju dan celana panjang.
Aksesoris dan perhiasan yang dikenakan lebih lengkap.

B.  Perlengkapan Pakaian Adat Gorontalo
1.   Pelengkap Pakaian Wanita
Pelengkap pakaian pengantin wanita gorontalo secara garis besar terdiri :
a.   Baya Lo Boute : ikat kepala yang digunakan oleh wanita sebagai simbol bahwa wanita telah didiikat dengan suatu tanggung jawab sebagai seorang istri.
b.   Tuhi-Tuhi : artinya gafah berjumlah sebanyak 7 buah. Tuhi-tuhi diibaratkan sebagai 2 kerajaan yang bersaudara yaitu Hulontalo dan limutu (Gorontalo dan Limboto ) serta 5 kesatuan kerajaan yaitu Tuwawa, Limutu, Hulontalo, Bulonga dan Atingola.
c.   Lai-Lai : bulu unggas berwarna merah putih yang diletakkan tepat diatas ubun-ubun sebagai perlambang keberanian, kesucian dan budi pekerti yang luhur.
d.   Buohu Wulu Wawu Dehu : aksesoris berupa kalung bersusun yang menggambarkan ikatan kekeluargaan. 
e.   Kecubu (Lotidu) : hiasan yang diletakkan pada bagian dada sebagai ambaran sifat taqwa serta iman yang kuat seorang wanita dalam menghadapi segala cobaan.
f.     Etango : ikat pinggang yang digunakan sebaai isyarat agar seseorang memaknai arti hidup sederhana, makan barang yang halal dan menghindari yang haram.
g.   Pateda : sepasang gelang lebar yang melilit rapat pada kedua pergelangan tangan dapat diartikan sebagai pengekang tindakan-tindakan yang tidak terpuji agar tidak melanggar hukum yang berlaku dalam adat setempat.
h.   Luobu : hiasan kuku yang hanya dikenakan pada jari manis dan jari kelingking dari kedua belah tangan kiri dan kanan.
i.     Hiasan yang dipakai pada jari manis pertanda budi yang luhur sedangkan pada jari kelingking mengingatkan manusia agar melaksanakan pekerjaan dengan penuh ketelitian. 

2.   Pelengkap Pakaian Pria
Pelengkap pakaian pengantin pria gorontalo secara garis besar terdiri atas :
a.   Tudung Makuta : atau dikenal dengan nama lain laapia-bantali-sibii merupakan hiasan pada bagian kepala berbentuk bulu unggas yang letaknya menjulang keatas dan terkulai kebelakang sebagai simbol bahwa seorang pria yang berkedudukan tinggi harus berperangai halus dan lembut seperti bulu unggas.
b.   Bako : Hiasan ini diletakkan pada pada bagian garis leher dengan 2 tali terurai, yang mengandung pengertiannya sama halnya dengan kalung bersusun yang dikenakan oleh pengantin wanita.
c.   Pasimeni : Hiasan pada baju ini digunakan untuk menggambarkan kekeluargaan yang luas dan penuh dengan kedamaian.

















6 Tari Tradisional Nusa Tenggara Barat

tari tradisional nusa tenggara barat

Secara umum, tarian tradisional Nusa Tenggara Barat dibagi dalam tiga kelompok, antara lain :
1.   Tari klasik Istana atau yang dikenal dengan Mpa’a Asi
2.   Tarian Rakyat atau Mpa’a Ari Mai Ba Asi
3.   Tarian Donggo : tarian yang dikreasi oleh masyarakat Donggo dan ditujukkan untuk upacara-upacara Adat.
Pada masa kejayaan kesultanan Bima, banyak sekali tarian dan kreasi seni yang diciptakan.
Beberapa diantara tarian tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Tari Oncer
Tari Oncer adalah tarian khas suku sasak yang ada di daerah Lombok.
Tarian Oncer diciptakan oleh Muhammad Tahir di desa Puyung, Lombok Tengah pada tahun 1960. 
tari oncer
Tari Oncer merupakan tarian bersama yang dimainkan oleh 3 kelompok :
a.   Kelompok penari kenceng yang terdiri dari 6 - 8 orang penari yang membaca kenceng,
b.   2 orang pembawa gendang disebut penari gendang
c.   1 orang pembawa petuk yang disebut penari petuk.
Tari oncer bisa ditarikan oleh laki-laki maupun perempuan, tetapi perannya tetap laki-laki. 
Tarian Oncer terdiri atas tiga bagian :
a.   Yang pertama adalah gerak tinduk : gerak melangkah yang menggambarkan keberangkan ke medan perang, dalam gerakan ini gerak mengangkat kaki yang ditonjolkan.
b.   Kedua adalah gerak bukaq jebak, artinya membuka pintu.
c.   Gerakan ketiga adalah kadal nengos (kadal yang menengok) : gerakan ini berarti suatu tanda kewaspadaan terhadap musuh dengan selalu melihat ke kiri kekanan serta kemuka dan belakang.
Jika bagian pertama tarian diisi dengan cukup banyak gerakan, di bagian kedua dan ketiga tidak seperti itu.
Di bagian ketiga inilah dilukiskan kondisi setelah usai perang yang ditandai dengan gerakan cempaka panclang (cempaka berguguran), keroton kombol (kembang sepatu kuncup) dan sandal kebak (kembang sandal yang mekar).
Alat musik yang digunakan adalah tetabuhan Gendang Beleq, ceng-ceng, suling, rincik, gong, reong, dan gendang kecil.
Penyajian dengan diawali masuknya 2 orang penari gendang sehingga menampakkan tarian ini sangat gagah dan dinamis.
Kemudian masuklah 4 hingga 6 penari oncer, sementara penari gendang mengambil posisi di samping kanan kiri sebagai latar belakang.
Kemudian penari Oncer mengambil posisi duduk sambil menyanyi lagu Pampang Paoq.
Diakhir tarian, penari Oncer keluar diikuti para penari gendang.

2.   Tari Lenggo
Tari Lenggo salah satu tari tradisional dari Bima.
Pada awalnya tari lenggo ini merupakan tarian klasik yang hanya ditampilkan dilingkungan istana kerajaan Bima.
tari lenggo ntb
Tari Lenggo dapat dilakukan oleh penari pria dan penari wanita.
Apabila ditarikan oleh penari wanita disebut dengan Tari Lenggo Mbojo.
Sedangkan apabila ditarikan oleh para penari pria, disebut Tari Lenggo Melayu.
Para penari baik pria maupun wanita mengenakan kostum berupa pakaian tradisional Bima.
Tari Lenggo yang pertama kali diciptakan adalah Tari Lenggo Melayu.
Tari Lenggo Melayu ini diciptakan oleh seorang mubalig dari Sumatera barat bernama Datuk Raja Lelo.
Tarian ini awalnya diciptakan khusus untuk upacara adat Hanta Ua Pua yang diselenggarakan di Bima.
Tari Lenggo Melayu ini dibawakan oleh para penari pria, sehingga masyarakat Bima menyebutnya Tari Lenggo Mone.
Terinspirasi dari Tari Lenggo Melayu tersebut, Sultan Abdul Khair Sirajuddin kemudian menciptakan sebuah tari yang dibawakan oleh penari putri yang dinamakan Tari Lenggo Mbojo, atau disebut juga Tari Lenggo siwe.
Gerakan dalam Tari Lenggo Mbojo ini merupakan hasil kreasi dan pengembangan dari Tari Lenggo Melayu.
Tari Lenggo Mbojo ini kemudian sering ditampilkan dalam acara adat Hanta Ua Pua, yaitu upacara peringatan masuknya agama Islam di Bima.
Dalam pertunjukannya, Tari Lenggo di iringi oleh musik tradisional dari Bima, yaitu gendang besar(gendang na’e), silu (sejenis serunai), gong dan tawa-tawa.
Untuk mengiringi Tari Lenggo ini biasanya diiringi dengan musik berirama lembut atau pelan selaras dengan gerakan para penari.
Dalam perkembangannya, Tari Lenggo ini masih sering dipertunjukan sebagai bagian dari upacara Hanta Ua Pua.
Selain itu, Tari Lenggo juga sering ditampilkan di berapa acara seperti penyambutan tamu penting dan festival budaya.
Hal ini dilakukan sebagai bagian dari usaha pelestarian dan memperkenalkan budaya dan tradisi yang ada di Bima.

3.   Tari Rudat
Tari Rudat adalah tari tradisional yang berasal dari Suku Sasak yang bertempat tinggal di Lombok.
tari rudat
Tari Rudat ditampilkan untuk menyambut tamu dan acara-acara resmi pemerintahan. 
Dalam hal gerakan, tari rudat ini merupakan tari pencak silat.
Hal ini dikarenakan dalam tarian rudat ini ada berbagai macam gerakan pencak silat seperti memasang kuda-kuda, memukul, menendang dan menangkis.
Tari Rudat berasal dari Turki dan menyebar ke Indonesia bersamaan dengan penyebaran agama Islam.
Tari Rudat masuk ke Indonesia abad ke 15 bersamaan dengan penyebaran agama islam di Indonesia.
Pada tahun 1987 sering dijumpai tari Rudat yang ditampilkan dipinggir jalan raya mengiringi pengantin pria yang bejalan bersama rombongan menuju rumah mempelai wanita.
Tari Rudat dibawakan oleh 13 orang penari lelaki dengan mengenakan pakaian ala prajurit.
Para penari mengenakan baju berlengan panjang warna kuning, dan celana selutut berwarna biru serta mengenakan kopiah panjang.
Para penari Rudat dipimpin oleh seorang penari yang mengenakan mahkota dan membawa pedang.
Tari Rudat diiringi musik melayu yang dimainkan dari alat - alat musik tradisional berupa rebana, mandolin, biola dan jidur.
Pertunjukan Tari Rudat terdiri dari pembukaan ucapan tabik (hormat/permisi) yang berbunyi: Tabik tuan-tuan, tabik nona-nona, mulailah bermain di hadapan tuan-tuan melihat keramaian, kemudian bershalawat (puji-pujian kepada Nabi) dan dilanjutkan dengan penutup (permintaan maaf jika ada salah ucap dan tingkah saat menari)
Tari Rudat
biasanya ditampilkan pada acara Maulid Nabi Muhammad, Isra Mi'raj, Khataman Alqur'an, Idul Fitri dan pada perayaan hari-hari besar agama Islam lainnya.

4.   Tari Sere
Tari Sere pada jaman dahulu merupakan tari klasik Istana Bima.
Tari Sere dari Bima ini  diciptakan oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
tari sere
Tari Sere dimainkan oleh dua orang perwira kesultanan, bersenjatakan tombak dan perisai.
Dengan wajah perkasa serta keberanian yang membara, dua perwira melompat dan berlari ke segala penjuru, bersenjatakan tombak menyerang dan menangkis serangan musuh.
Sebagai pancaran menghadapi musuh – musuh Dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri).
Para penari selalu melakukan gerakan melompat sambil berlari, oleh sebab itu tari ini diberinama mpa’a sere, yang berarti melompat sambil berlari (sere).
Tari Sere diiringi musik tambu (tambur).
Hingga kini, Tari Sere masih tetap eksis, dan selalu digelar/dipertunjukkan pada saat penyambutan tamu-tamu penting pada acara-acara Pemerintah maupun perayaan Hanta Ua Pua.

5.   Tari Gendang Beleq
Tari Gendang Beleq adalah salah satu tarian dari Lombok, dinamakan demikian karena memakai gendang yang sangat besar.
tari gendang beleq
Kesenian Gendang Beleq sudah menjadi tradisi di Suku Sasak sejak lama dan merupakan kesenian peninggalan Kerajaan Selaparang Lombok yang menguasai sebagian wilayah pulau Lombok bagian timur pada zaman kerajaan Anak Agung.
Disebut Gendang Beleq, karena menggunakan Gendang berukuran besar yang dalam bahasa sasak disebut Beleq.
Kesenian Gendang Beleq, awal masuknya di pulau Lombok, digunakan oleh para tokoh agama untuk menyebarkan islam di daerah ini.
Saat itu, kesenian ini dimainkan untuk mengumpulkan warga, yang akan diberikan ceramah agama maupun kegiatan keagamaan lainnya.
Untuk memainkan kesenian ini membutuhkan kekompakan dalam kelompok, sehingga harus dimainkan secara utuh.
Musik yang dimainkan, tari yang ditampilkan dalam kesenian Gendang Beleq, menggambarkan jiwa satria masyarakat Suku Sasak Lombok dalam mempertahankan daerahnya.
Pada zaman kerajaan Selaparang, biasanya tari Gendang Beleq dipentaskan untuk melepas prajurit ke medan perang.
Tujuannya, agar para prajurit yang akan berlaga di medan pertempuran tetap bersemangat dan bergairah untuk membela daerahnya saat itu.
Demikian juga setelah prajurit pulang dari medan pertempuran, disambut kesenian Gendang Beleq di pintu masuk desa, sebagai rasa syukur atas perjuangan mereka.
Tradisi Gendang beleq masih dilakukan hingga saat ini untuk menyambut tamu undangan.

6.   Tari Gandrung Lombok
 Tari Gandung merupakan tarian rakyat yang berkembang ditiga daerah, yaitu Banyuwangi, Bali dan Lombok.
tari gandrung lombok
Tari Gandrung dari ketiga daerah tersebut memiliki kemiripan, namun demikian masing-masing juga memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri.
Demikian pula dengan tari gandrung lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tari Gandrung terkenal dilingkungan masyarakat sasak sebagai tarian yang dilakukan oleh seorang wanita dengan iringan puisi (lelakaq), nyanyian (sandaran) dan  seperangkat gamelan (sabarungan ).
Gandrung  menunjukan suka cita dan harapan bersama masyarakat sasak dan dipentaskan sebagai sebuah ekpresi simbolis dari masyarakat sasak yang dilakukan dalam perayaan desa setelah masa panen padi.
I Wayan Karyawirya menyatakan dalam tulisannya Tari Gandrung Lombok (1993/1994) bahwa tari gandrung berasal dari Banyuwangi, kemudian menyebar lewat Bali dan akhirnya sampai di Lombok. 
Tari Gandrung Lombok dimainkan oleh dua orang penari wanita, biasanya dilakukan pada malam hari bertepatan dengan paska panen padi.
Para penari Gandrung Lombok mengenakan pakaian khusus tarian yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a.   Gegelung
b.   Gempolan
c.   Bapang
d.   Stagen dan seret
e.   Elaq elaq
f.     Gonjer / Gegonjer