Tari
Remo (terkadang disebut juga Remong) adalah sebuah tarian yang lahir dari
kawasan budaya Arek, di bagian pusat Jawa Timur.
Sebagian
besar orang menganggap Reog Ponorogo adalah tarian maskot Jawa Timur.
Namun
selain Reog, salah satu tarian yang sangat familiar bagi masyarakat Jawa
Timur adalah Tari Remo.
Berkat
nuansa kemegahan yang ditampilkan dari gaya busana, irama gamelan yang
mengiringi, dan serta gerakan dinamis dan gagah dari Tari Remo.
Membuat
tarian ini terkesan eksklusif dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat
Jawa Timur.
Tari
Remo yang semula hanya ditarikan oleh satu orang penari saja.
Lambat
laun kemudian ditarikan pula oleh beberapa orang dalam sebuah pentas.
Menjadikan
Tari Remo semakin indah karena memiliki pola koreografi tersendiri.
Bahkan
di era sekarang, di beberapa kota di Jawa Timur, khususnya Jombang dan
Surabaya.
Sering
diadakan Festival Remo Massal sebagai event tahunan, juga untuk menarik
minat wisatawan agar berkunjung ke kota tersebut.
Banyak sekolah-sekolah di Jawa
Timur, khususnya di wilayah budaya Wetanan seperti Surabaya, Jombang, Malang,
Pasuruan, dan sekitarnya, menjadikan Tari Remo sebagai salah satu bidang
ekstrakurikulernya.
Tarian ini sangat diminati oleh
generasi muda, terbukti dengan pekan seni atau lomba Remo yang banyak
diramaikan oleh penari generasi muda.
Sebagai sebuah tarian yang sangat
dibanggakan masyarakat Jawa Timur, eksistensi Tari Remo untuk saat ini memang
tidak dalam keadaan mengkhawatirkan.
Karena masih sangat banyak generasi
muda yang mau belajar, atau paling tidak bangga dengan keberadaan Tari Remo.
A. Sejarah Tari Remo
Tari
Remo ini diciptakan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai penari keliling (tledhek)
di Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
Pada
perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya kesenian Ludruk di tengah
masyarakat sekitar abad ke 19, Tari Remo digunakan menjadi tarian pembuka dari
pentas pertunjukan Ludruk.
Sebelum
seorang pemain Ludruk membawakan kidungan dan parikan, Tari Remo
ditampilkan sebagai pembuka dan ucapan selamat datang bagi para hadirin yang
menyaksikan.
Begitu
lekatnya Ludruk dengan Tari Remo, sehingga kedua produk seni tersebut menyatu
menjadi sebuah paket pertunjukan yang masing-masing tidak bisa dipisahkan.
Setelah
Indonesia merdeka, lambat laun fungsi dan posisi Tari Remo semakin berkembang.
Tari
Remo kini sering digunakan sebagai tarian penyambutan tamu-tamu istimewa,
seperti pejabat, delegasi asing, dan lain sebagainya.
Awalnya,
Tari Remo adalah tarian yang khusus dibawakan oleh kaum pria.
Hal
ini berkaitan dengan cerita atau tema dari Tari Remo itu sendiri. Tari Remo
bercerita tentang kepahlawanan seorang pangeran yang berjuang dalam medan
pertempuran.
Untuk
itu, sisi maskulin dalam Tari Remo sangat ditonjolkan.
Namun
dalam perkembangannya, banyak kaum perempuan yang tertarik untuk belajar dan
membawakan Tari Remo.
Bahkan
kini Tari Remo banyak ditarikan oleh perempuan.
Walaupun
demikian, busana ala pria yang digunakan sebagai kostum Tari Remo tidak banyak
diubah, meski yang menarikannya seorang perempuan.
B. Tata Gerak Tari Remo
Karakteristik
yang paling utama dari tata gerak Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan
dinamis.
Gerakan
ini didukung dengan adanya bandul-bandul (binggel) yang dipasang di
pergelangan kaki.
Bandul
lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentakkan kakinya di
panggung.
Ciri
khas yang lain adalah gerakan melempar selendang atau sampur secara
cepat dan dinamis, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, serta
kuda-kuda penari membuat tarian ini menjadi semakin atraktif.
Dibutuhkan
kecekatanan dan konsentrasi penuh bagi penari jika membawakan Tari Remo.
Gerakan
yang berubah-ubah dalam tempo waktu yang cepat, melempar dan memutar-mutar
selendang, serta ketukan irama hentak kaki, semuanya harus dilakukan dengan
baik.
Gerak
cepat dan gagah dari Tari Remo sendiri melambangkan keperkasaan, kepiawaian,
dan kesaktian kesatria Jawa tempo dulu.
C. Tata Busana Tari Remo
Tata
busana Tari Remo sendiri bermacam-macam menurut wilayah kebudayaan dan siapa
yang menarikannya.
Gaya-gaya
busana Tari Remo adalah gaya Surabayan, Malangan, Jombangan, Sawunggaling, dan
Remo Putri.
Dalam
gaya busana Surabayan, aksesori yang dikenakan
terdiri atas ikat kepala merah (udheng), gelang kaki berbandul (binggel).
Baju tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada
abad ke 18.
Celana sebatas pertengahan betis yang dikait dengan benang emas,
kain batik (jarik) gaya Pasisiran yang menjuntai hingga ke lutut.
Setagen yang diikat
di pinggang, serta keris yang diselipkan di belakang.
Penari juga memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di
pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari
memegang tiap ujung selendang.
Untuk gaya busana Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan.
Namun yang membedakan
yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak
disemat dengan benang emas.
Gaya Jombangan,
sebagai gaya asli dari Tari Remo, busana yang dipakai sama dengan gaya
Surabayan.
Namun yang membedakan
yakni penari hanya mengenakan rompi khas prajurit Jawa abad pertengahan.
Jelas sekali bahwa
busana Tari Remo gaya Jombangan hanya untuk dibawakan oleh kaum pria.
Lain lagi dengan gaya
busana Sawunggaling.
Sawunggaling sendiri
diambil dari nama Raden Mas Tumenggung Sawunggaling, tokoh legendaris dari
Surabaya.
Sebuah legenda dari
abad ke 17 mengisahkan bahwa Tumenggung Sawunggaling adalah adipati Surabaya
yang berhasil mengusir pasukan kompeni pimpinan Jenderal de Boor dari Surabaya.
Busana gaya
Sawunggalingan terilhami dari kisah kepahlawanan Tumenggung Sawunggaling itu
sendiri.
Pada dasarnya busana
gaya Sawunggalingan sama dengan gaya Surabayan.
Namun yang membedakan
adalah penggunaan kaus putih berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam
ala kerajaan.
Sementara untuk busana
Tari Remo gaya putri memiliki ciri khas sendiri.
Walaupun secara garis
besar penggunaan pakaian dan aksesoris hampir sama dengan busana gaya pria.
Namun dalam
perkembangannya, penari Remo Putri juga memakai sanggul dan cunduk
mentul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak
untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut.
Serta hanya
menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu.
Remo Putri yang
seperti itu sering disebut sebagai Tari Beskalan, yang terutama berkembang di
wilayah Kabupaten Malang.
D. Musik Pengiring Tari Remo
Irama musik yang
mengiringi Tari Remo ini adalah seperangkat gamelan, yang biasanya terdiri atas bonang
barung atau babok, bonang penerus, saron, gambang, gender, slenthem, siter,
suling, kethuk, kenong, kempul, dan gong.
Gamelan yang digunakan sama seperti
gamelan yang digunakan untuk mengiringi pentas pertunjukan Ludruk, menggunakan
laras slendro.
Kecuali untuk Remo Putri yang sudah
berkembang menjadi Tari Beskalan, gamelan yang digunakan menggunakan laras pelog.
Adapun
jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah
irama Jula-Juli dan Tropongan
Namun
dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau
gending-gending kreasi baru.
Berbeda
dengan tari-tarian Jawa yang lain, Tari Remo hanya diiringi dengan instrumen
tanpa seorang waranggana atau sinden yang membawakan tembang.
Jika
Tari Remo dibawakan sebagai pembuka pertunjukan Ludruk, penari biasanya
juga menyanyikan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya.
Dilihat
dari hal tersebut, tentunya selain tangkas menari, penari Remo juga harus mahir
dalam seni olah suara.
Sumber
:
No comments:
Post a Comment