ProvinsiNusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar, yaitu pulau Lombok dan pulau
Sumbawa.
Suku
mayoritas yang mendiami pulau Lombok adalah suku Sasak, sedangkan suku
mayoritas di pulau Sumbawa adalah suku Bima
Oleh
karena itu pakaian adat Nusa Tenggara Barat diwakili oleh pakaian adat kedua
suku tersebut.
Meskipun
terdiri dari 2 kebudayaan yang dominan, di kancah Nasional, kebudayaan suku
Sasak merupakan kebudayaan yang sering dikedepankan.
Hal
tersebut mengingat secara keseluruhan, suku sasak merupakan suku mayoritas di
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan total sebesar 68% dari total
populasinya.
Sebagian besar pakaian adat suku
Sasak berasal dari kain tenun.
Hal ini dikarenakan masyarakat Sasak
sudah mengenal teknik menenun sejak abad ke-14.
Corak hias pada kain tenun pada
umumnya merupakan eksplorasi dari kehidupan alam sekitar dan mitologi.
Seperti pohon mawar, burung, ular
naga, dan tokoh pewayangan.
Corak hias pada kain untuk perempuan
berbeda dengan ragam hias pada kain untuk laki-laki.
a. Pakaian Adat Wanita Suku
Sasak
Pakaian
adat wanita suku sasak disebut lambung. Disebut
baju lambung, karena bagian bawahnya hanya sampai lambung atau perut.
Baju
ini memang menggantung dan sedikit mengembang di bagian perut. Karena bagian
tengahnya dikerutkan sampai ke ujung tepian leher.
Lambung
adalah baju hitam tanpa lengan dengan kerah berbentuk segitiga atau hurup “V”
dan sedikit hiasan di bagian pinggir baju.
Pakaian
ini menggunakan bahan kain pelung.
Sebagai
pelengkap lambung, dikenakan selendang yang menjuntai di bahu kanan bercorak
ragi genep yang merupakan jenis kain songket khas sasak
Dipadukan
dengan sabuk anteng (ikat pinggang) yang dililitkan dan bagian ujungnya yang
berumbai dijuntaikan di pinggang sebelah kiri.
Pada bagian bawahannya memakai kain panjang sampai lutut atau mata kaki dengan bordiran di tepi kain dengan motif kotak-kotak atau segitiga.
Sebagai aksesoris ditambahkan sepasang gelang pada tangan dan kaki berbahan perak.
Pada bagian bawahannya memakai kain panjang sampai lutut atau mata kaki dengan bordiran di tepi kain dengan motif kotak-kotak atau segitiga.
Sebagai aksesoris ditambahkan sepasang gelang pada tangan dan kaki berbahan perak.
Sowang
(anting-anting) berbentuk bulat terbuat dari daun lontar.
Rambut
diikat rapi dan sebagai aksen diselipkan bunga cempaka dan mawar, atau bisa
juga disanggul dengan model punjung pliset.
Pakaian adat lambung digunakan gadis-gadis Sasak khusus untuk menyambut tamu dan pembawa woh-wohan dalam upacara mendakin atau nyongkol.
Pakaian adat lambung digunakan gadis-gadis Sasak khusus untuk menyambut tamu dan pembawa woh-wohan dalam upacara mendakin atau nyongkol.
b. Pakaian Adat Pria Suku Sasak
Pakaian
adat pria suku sasak disebut pegon. Pegon dipengaruhi oleh tradisi Jawa dengan
adaptasi dari jas eropa sebagai lambang keagungan dan kesopanan.
Bahan
yang digunakan berwarna polos dengan modifikasi dibagian belakang agar mudah
menyelipkan keris.
Untuk bagian kepala, pria sasak yang menggunakan pakaian adat sasak biasanya akan mengenakan Sapuq/Sapuk (batik, pelung, songket)
Sapuk
merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan serta menjaga
pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan
yang Maha Esa.
Jenis
dan cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak dibenarkan meniru cara
penggunaan sapuq untuk ritual agama lain.
Untuk
ikat pinggang (leang/tampet atau dodot), menggunakan kain songket bermotif benang
mas sebagai pasangan pegon.
Pemakaiannya
tidak seperti ikat pinggang melainkan lebih berfungsi sebagai aksen, sekilas
mirip busana tradisional melayu.
Untuk
masyarakat biasa, kain songket yang digunakan bermotif ragi genep,
penggunaannya dililitkan biasa seperti ikat pinggang pada umumnya.
Leang atau tampet atau dodot ini
berfungsi untuk menyelipkan keris.
Untuk keris yang berukuran besar,
biasanya diselipkan di belakang.
Sedangkan untuk keris yang berukuran
kecil diselipkan di depan.
Penggunaan keris tidak mutlak, keris
bisa diganti dengan pemaja atau pisau raut.
Sebagai bawahan, pria Sasak menggunakan wiron atau cute.
Sebagai bawahan, pria Sasak menggunakan wiron atau cute.
Wiron berbahan batik Jawa dengan
motif tulang nangka atau kain pelung hitam.
Penggunaannya seperti kain di Jawa
atau samping di Sunda yang menjuntai hingga mata kaki.
Untuk penggunaan wiron, tidak
diperkenankan menggunakan kain polos berwarna merah atau putih.
Sebagai pembeda antara masyarakat
biasa dengan pemangku adat, pemangku adat menggunakan Selendang Umbak.
Selendang Umbak berbentuk sabuk yang
dibuat dengan ritual khusus dalam keluarga sasak.
Warna kain umbak putih merah dan
hitam dengan panjang sampai dengan empat meter.
Di ujung benang digantungkan uang
cina (kepeng bolong).
Selain perlengkapan busana adat Sasak diatas, khusus untuk pemangku adat digunakan pula Selendang Umbak.
Selain perlengkapan busana adat Sasak diatas, khusus untuk pemangku adat digunakan pula Selendang Umbak.
Umbak sebagai pakaian adat hanya
digunkan oleh para pemangku adat, pengayom masyarakat. Umbak untuk busana
sebagai lambang kasih sayang dan kebijakan.
c. Pakaian Pengantin Suku Sasak
Untuk
pakaian pengantin, digunakan pakaian yang lebih banyak hiasannya.
Pengantin
wanita memakai tangkong (baju) semacam kebaya yang biasanya berwarna hitam
polos, tetapi kadang diberi hiasan pinggiran bajunya.
Untuk
bagian bawah dikenakan kereng (kain panjang), yang umumnya dibuat dari kain
songket.
Sebagai
pelengkap penampilan digunakan kancing baju (buak tongkong) emas, kalung emas,
ikat pinggang (gendit/ pending) emas, gelang tangan (teken), cincin (ali-ali),
dan gelang kaki (teken nae).
Pengantin pria mengenakan klambi yang bahannya sama dengan pengantin wanita.
Pengantin pria mengenakan klambi yang bahannya sama dengan pengantin wanita.
Bagian
atas berupa jas tertutup dengan potongan agak meruncing pada bagian bawah
belakangnya untuk mempermudah menyelipkan keris.
Bagian
bawah menggunakan kereng (kain panjang), yang terbuat dari kain songket yang
bermotif khas Lombok.
Kemudian
ditambah dodot (kampuh), kain yang biasanya bercorak sama dengan yang dipakai
pengantin wanita.
Bagian
kepala memakai sapu (ikat kepala atau destar) yang juga terbuat dari kain
songket dan sering diberi hiasan keemasan yang sering diselipkan pada ikat sapu
bagian depan.
Dibagian
punggung diselipkan keris panjang.
2. Pakaian Adat Suku Bima
Suku
Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang terdapat di Kota Bima dan Kabupaten Bima,
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Suku
Bima bermukim di daerah dataran rendah, yang berada dalam wilayah kabupaten
Bima, Dongo dan Sangiang.
Kondisi
alam pemukiman suku Bima berbeda-beda, di daerah utara tanahnya sangat subur,
sedangkan sebelah selatan tanahnya gundul dan tidak subur.
Masyarakat
suku Bima kebanyakan bermukim dekat pesisir pantai.
Suku
Bima kadang disebut juga sebagai suku "Oma" (berpindah-pindah) karena
kebiasaan hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Pakaian
adat wanita suku Bima disebut dengan Rimpu Cala. Rimpu Cala adalah pakaian
semacam hijab yang terdiri dari 2 kain sarung.
Sarung
pertama untuk menutupi bagian kepala dan lengan, lalu kain yang satu lagi
digunakan sebagai rok.
Selain
Rimpu Cala, ada juga Rimpu Mpida. Rimpu Mpida biasanya digunakan oleh wanita
yang belum menikah.
Rimpu
Mpida menutupi badan hingga hanya menyisakan mata layaknya menggunakan cadar.
Rimpu
Cala dan Rimpu Mpida merupakan bukti bahwa pengaruh kebudayaan agama islam di
masyarakat suku Bima sangatlah kuat.
b. Pakaian Adat Pria Suku Bima
Pakaian
adat pria suku Bima berupa kemeja berlengan panjang dan mengenakan sambolo
dibagian kepala. Sambolo merupakan ikat kepala.
Pada
bagian bagian bawah, menggunakan kain songket bernama tembe me'e.
Sebagai
pelengkap digunakan pula salepe atau selendang yang berfungsi sebagai ikat
pinggang.
c. Pakaian Pengantin Suku Bima
Pakaian
pengantin suku Bima berbeda dengan pakaian adatnya.
Mempelai
wanita memakai bjau poro rante yang terbuat dari kain halus warna merah dan
dihiasi dengan cepa benang emas diseluruh permukaan baju.
Kemudian
baju tersebut dipadu dengan sarung songket (tembe songke) dan ikat pinggang
(slepe) yang berwarna keemasan.
Pasapu
(sapu tangan) dari kain sutra bersulam benang perak dipegang di tangan kanan.
Rambutnya
disanggul dan dihiasi dengan keraba.
Keraba
yang terbuat dari gabah (bulir padi yang belum dikupas kulitnya) yang digoreng
tanpa minyak hingga mekar dan tampak warna putih berasnya secara dominan.
Keraba
tersebut ditempel pada rambut dengan perekat malam atau lilin hingga warna
putihnya mencolok di atas rambut.
Tatanan
rambut yang dihiasi keraba tersebut disebut wange.
Aksesoris
lain seperti bangka dondo (anting-anting panjang) dan ponto (gelang tangan)
juga berwarna keemasan.
Sementara itu, mempelai laki-laki mengenakan pasagi, yaitu baju dan celana yang terbuat dari kain yang sama.
Sementara itu, mempelai laki-laki mengenakan pasagi, yaitu baju dan celana yang terbuat dari kain yang sama.
Kain
tersebut dihiasi dengan cepa dan sulaman benang emas.
Siki
(kain songket atau tembe songke) dikenakan sebatas lutut, seperti memakai
sarung.
Untuk
menakar siki digunakan baba, yaitu kain yang berukuran lebih lebar dari ikat
pinggang biasa.
Baba
berfungsi untuk menyelipkan keris. Di atas baba diselipkan selepe mone, yaitu
ikat pinggang yang terbuat dari logam keemasan.
Sebuah
keris, yang pada hulunya diikatkan pada baba.
Pakaian
pengantin pria ini juga dilengkapi dengan karoro, yaitu semacam jubah hitam
yang berhais cepa berwarna keemasan dan mahkota yang disebut siga.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete