Beratus
tahun lalu masyarakat Dayak membuat pakaian dengan bahan dasar kulit kayu yang
disebut kulit nyamu.
Kulit
kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga
menjadi lemas seperti kain.
Bajuadat suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah berupa rompi tanpa hiasan apa pun yang
disebut sangkarut.
Celana
adalah cawat yang ketika dikenakan, bagian depannya ditutup
lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah.
Pakaian itu berwarna coklat muda, warna asli
kayu, tidak diberi hiasan, tidak pula diwarnai hingga kesannya sangat alamiah.
Dalam
perkembangannya, baju kulit kayu dilengkapi aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum laki-laki dan salutup bawi untuk kaum perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tato) pada bagian-bagian
tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar.
Biji-bijian,
kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung.
Gelang
dibuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai
akseroris lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka.
Kesederhanaan
pakaian kulit kayu itu pun memancarkan esensi keindahan karena tambahan warna
warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap pakaiannya.
Setelah
itu, masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada
pakaian mereka.
Bahan
pakaian itu secara kreatif diolah dari bahan yang tersedia di alam sekitar
mereka. Misalnya warna hitam dari jelaga, warna puitih dari tanah putih
dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan.
Corak
hias yang digambarkan pada paakaian mereka juga diilhami oleh apa yang mereka
lihat di alam sekitar mereka.
Maka
tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung,
cakar harimau dan sebagainya menjadi corak hias pakaian adat.
Keyakinan
dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias
pakaian adat
Sehingga
gambar-bambar itu, selain tampil artistik juga punya makna simbolik.
Kelengkapan pakaian tradisional yang dikenakan
oleh kaum pria dalam adat Dayak Ngaju yaitu :
1) Rompi
2) Kain penutup bagian bawah sebatas lutut
3) Ikat kepala berhiaskan bulu-bulu enggang
4) Kalung manik-manik dan ikat pinggang
5) Tameng kayu beserta mandau dibagian pinggang.
Sementara kelengkapan yang dikenakan oleh kaum
wanita yaitu :
1) Baju rompi
2) Kain (rok pendek)
3) Ikat atau penutup kepala yang dihiasi bulu-bulu
enggang
4) Kalung manik-manik
5) Ikat pinggang serta gelang tangan.
A. Jenis-Jenis Pakaian Adat Kalimantan Tengah
Suku Dayak Ngaju adalah suku mayoritas di Provinsi
Kalimantan Tengah (46,62).
Suku Dayak Ngaju memang dikenal sebagai suku asli dari
provinsi ini.
Oleh
karena itu di setiap kebudayaan dari suku Dayak Ngaju dianggap sebagai
perwakilan masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah.
Termasuk dalam penentuan pakaian adat, dimana pakaian adat Kalimantan Tengah diambil dari pakaian suku Dayak Ngaju.
Adapun pakaian adat Kalimantan Tengah sebagai berikut :
1. Baju Sangkarut
Nama pakaian adat suku Dayak Ngaju yang diresmikan sebagai
pakaian adat Provinsi Kalimantan Tengah adalah baju sangkarut.
Baju sangkarut merupakan pakaian rompi yang selalu dipakai
ketika berperang atau pada saat upacara adat pernikahan.
Kata sangka dalam pakaian adat ini artinya adalah pembatas
Kata sangka dalam pakaian adat ini artinya adalah pembatas
Dan
mempunyai filosofi bahwa baju ini bisa membatasi dan menangkal setiap gangguan
para roh halus yang akan datang pada tubuh para pemakainya.
Baju sangkarut ini terbuat dari kulit nyamu atau kulit lemba.
Baju sangkarut ini terbuat dari kulit nyamu atau kulit lemba.
Kulit yang berasal dari tumbuhan pinang puyuh ini memang
banyak ditemukan di ekosistem hutan hujan tropis seperti halnya di hutan
Kalimantan.
Kulit nyamu mempunyai struktur yang keras dan seratnya yang
cukup banyak sehingga bisa dirajut dan dibentuk seperti rompi.
Selain menggunakan bahan tersebut, pakaian adat Provinsi
Kalimantan Tengah ini juga bisa terbuat dari bahan daun nenas dan serat
tengang.
Rompi sangkarut biasanya akan dihiasi dengan lukisan dari
cat alami atau dari berbagai macam hiasan, seperti tempelan kulit trenggiling,
kancing, uang logam, kancing, manik-manik, atau benda-benda lainnya yang
dipercaya memiliki kekuatan magis (azimat).
Rompi sangkarut akan dipakai bersama dengan bawahan berupa
cawat dan berbagai macam kelengkapan perang lainnya, seperti senjata
tradisional mandau, tombak, dan perisai.
Berbagai macam jenis kalung dari tulang hewan atau logam
juga dipakai oleh pemakai pakaian adat Provinsi Kalimantan Tengah ini.
Keberadaan rompi sangkarut sekarang ini sudah semakin
sedikit.
Masyarakat suku dayak ngaju yang mulai mengenal ilmu
tekstil sudah beralih ke jenis pakaian lainnya yang lebih nyaman dipakai.
2. Baju Upak Nyamu
Baju ini adalah baju yang dibuat dari bahan yang sama
dengan bahan pembuatan rompi sangkarut, yaitu dari kulit kayu nyamu.
Pemakainya juga akan memakai ewah atau cawat yang menutupi bagian kemaluannya.
Pemakainya juga akan memakai ewah atau cawat yang menutupi bagian kemaluannya.
Yang membedakan, baju nyamu ini adalah tidak dihiasi dengan
berbagai lukisan atau tempelan. Baju ini hanya berupa rompi polos tanpa lengan.
3. Baju Pawang
Sesuai dengan namanya, baju pawang ini hanya dipakai oleh
para dukun atau ulama di dalam kepercayaan Kaharingan ketika memanjatkan doa.
Dalam kepercayaan asli suku Dayak tersebut, sang dukun dipercaya bisa membantu melindungi diri dari roh jahat, mendatangkan hujan, dan mengobati orang sakit.
Dalam kepercayaan asli suku Dayak tersebut, sang dukun dipercaya bisa membantu melindungi diri dari roh jahat, mendatangkan hujan, dan mengobati orang sakit.
Baju pawang ini dibuat dari serat kayu serta dilengkapi
dengan umbai-umbaian atau manik-manik yang berfungsi sebagai penghias.
4. Baju Tenunan
Masuknya beberapa suku bangsa lain, seperti halnya suku
Mandar atau Melayu membuat masyarakat suku dayak di Provinsi Kalimantan Tengah
di masa lampau mengenal seni menenun.
Mereka mulai belajar menenun kain yang terbuat dari bahan serat alami seperti serat nyamu, serat nenas, dan serat tumbuhan lainnya.
Mereka mulai belajar menenun kain yang terbuat dari bahan serat alami seperti serat nyamu, serat nenas, dan serat tumbuhan lainnya.
Kain tenunan ini biasanya dilengkapi dengan motif-motif
khusus yang sangat unik, seperti motif flora, fauna, motif alam, motif
segitiga, dan lain sebagainya.
Namun, baju tenunan tersebut saat ini telah punah.
5. Baju Dari Anyaman Tikar
Baju yang tidak diketahui namanya ini dibuat dengan cara
menganyam tikar, lengkap dihiasi berbagai ukiran kayu, tulang, atau kerang.
Baju ini dipercaya sebagai baju khas dalam berperang.
6. Baju Berantai
Penelitian terbaru menemukan bahwa suku Dayak Ngaju di
dalam perkembangannya juga mengenal baju zirah.
Baju khusus digunakan untuk berperang ini terbuat dari untaian besi.
Baju khusus digunakan untuk berperang ini terbuat dari untaian besi.
Diperkirakan, adanya baju satu ini dikarenakan oleh pengaruh
kebudayaan luar
Terutama
dari kebudayaan suku Moro Filiphina.
B. Perkembangan
Pakaian Adat Kalimantan Tengah
Dalam kesehariannya suku Dayak Ngaju banyak memanfaatkan alam
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini dapat dilihat dari
pemanfaatan kulit kayu siren atau kulit nyamu sebagai bahan pembuatan pakaian.
Kulit kayu yang diperoleh dari pohon yang keras ini
Kemudian diproses dengan cara
ditempa menggunakan alat pemukul berupa kayu sampai lemas menyerupai kain
Barulah setelah itu dipotong
untuk membuat baju dan celana.
Busana suku Dayak Ngaju dibuat dengan model yang sangat
sederhana yakni berupa rompi (sangkarut) tanpa hiasan apapun
Dan semata-mata hanya
difungsikan untuk menutupi badan saja. Pemakaian rompi ini dipadukan dengan
celana berupa cawat
Yang pada bagian depannya
ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang diberi nama ewah.
Lambat laun masyarakat Dayak Ngaju mulai membubuhkan warna
dan corak hias
Yang diilhami oleh keyakinan
dan mitologi yang berkembang dimasyarakat untuk mempercantik busana mereka.
Pada perkembangannya masyarakat Dayak Ngaju mulai
mengembangkan keterampilan menjalin serat alam
Yang konon diperkenalkan oleh
orang-orang Bugis.
Kulit kayu yang mulanya diolah dengan cara ditempa
Kini dikembangkan menjadi
serat halus
Yang diproses dengan cara
dicelup mengunakan bahan pewarna alam
Sehingga terciptalah benang
yang beraneka warna.
Suku Dayak Ngaju pun lalu menciptakan alat penjalin untuk
“merangkai” serat demi serat
Menjadi bentangan kain sebagai bahan dasar pembuatan busana untuk baju, celana, ikat
kepala, dan kelengkapan lainnya.
Tidak hanya terbatas pada kulit kayu saja mereka kemudian
melirik rotan, jenis rerumputan, akar tumbuhan untuk diolah menjadi benang
Sehingga “kain” yang
dihasilkan menjadi sangat beragam.
Temuan-temuan baru tersebut kemudian dikembangkan lagi secara
kreatif
Oleh para perancang busana
masyarakat Dayak Ngaju
Sehingga terciptalah
busana-busana indah
Yang memadukan kulit kayu,
jalinan serat alam, serta aplikasi manik-manik dari logam, keramik dan arguci
Yang diperkenalkan oleh orang
Cina dan India
Sebagai pelengkap aksessories yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari
biji-bijian, kayu, dan tulang.
Dari penggunaan kulit kayu, dan serat alam
Kemudian berkembanglah kain
tenun halus dikalangan masyarakat Dayak Ngaju.
Kain tenun halus terlahir dari kreatifitas penenun masyarakat
Ngaju
Yang banyak mendapat pengaruh
dari para pedagang Gujarat dan India Yang datang ke Nusantara
dengan membawa serta kain-kain tenun halus dari serat kapas atau sutra sebagai
barang dagangan.
Hampir seluruh pakaian adat tradisional suku Ngaju yang
beredar sekarang ini
Dibuat dari kain tenun halus
serat kapas atau sutra
Dengan tetap mempertahankan
corak hias
Dan modelnya yang tidak
bergeser jauh dari bentuk asalnya.
Sampai saat ini pakaian adat suku Dayak Ngaju
Yang berasal dari
pengembangan busana tradisonal masa lampau
Masih banyak dikenakan pada
upacara sebagai busana pengantin, acara-acara adat, kostum tari-tarian.
No comments:
Post a Comment