TariLegong adalah kesenian Tari klasik Bali mulanya berkembang di Desa Peliatan,
perkampungan seni terkenal di Ubud, Kabupaten Gianyar.
Tari
Legong awalnya dipentaskan untuk menghibur raja dan para keluarganya.
Tari
Legong merupakan tarian klasik Bali yang memiliki gerak yang sangat kompleks
yang terikat dengan suara tabuh pengiring yang merupakan pengaruh dari
Gambuh.
Asal
Kata Legong berasal dari kata "leg" yang berarti luwes dan lentur
yang kemudian diartikan sebagai gerakan lemah gemulai .
Sedangkan
kata "gong" yang artinya gamelan, sehingga digabung menjadi
"Legong" yang artinya gerakan yang sangat terikat atau
dipengaruhi oleh tabuhan gamelan yang mengiringinya.
Tari
Legong selain sebagai dasar tari putri juga primadona dari berbagai jenis
tarian Bali.
Tari
klasik Legong yang luwes, lentur dengan gerak dinamis dibawakan oleh
sejumlah penari wanita .
Tari
Legong ini adakalanya dibawakan oleh dua orang gadis atau lebih dengan diawali
penampilan tokoh Condong sebagai pembukaan Tari Legong ini.
Tetapi
ada juga tari Legong hanya dibawakan oleh satu penari Legong atau dua pasang
penari legong tanpa menampilkan tokoh Condong terlebih dahulu.
Ciri
khas dari tari Legong adalah pemakaian kipas para penarinya kecuali tokoh
Condong.
A. Sejarah dan Perkembangan Tari Legong
Cerita
tentang Tari Legong tercatat pada Babad Dalem Sukawati yang ditulis sekitar
awal abad ke 19.
Pada
saat itu wilayah Sukawati, Gianyar, memang termasyur sebagai daerah tempat
penari-penari handal.
Menurut
babad, I Dewa Agung Made Karna yang terkenal memiliki kemampuan
spiritual, melakukan pertapaan di Pura Yogan Agung desa Ketewel,
Sukawati.
Pada
saat bertapa itulah beliau mendapatkan wangsit berupa beberapa sosok
bidadari-bidadari yang cantik melayang di angkasa,dengan memperagakan suatu
tarian yang sangat menakjubkan.
Maka
setelah bangun dari tapanya, ia memerintahkan para seniman di desa ketewel
untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan tarian sesuai dengan
penglihatan dari pertapaannya .
Kemudian,
terciptalah sembilan buah topeng sebagai wujud sembilan orang bidadari dalam
mitologi agama Hindu.
Lalu
dua orang penari Sanghyang diperintahkan untuk menari tarian tersebut.
Penari
Sanghyang adalah penari-penari putri muda yang terpilih bukan hanya karena
bakat, tapi juga peka untuk kerauhan , dan belum pernah menstruasi. Sang
Hyang Legong adalah nama Tari topeng yang dipertunjukkan oleh kedua penari itu.
Tarian Legong ini dengan topeng aslinya
sampai saat ini masih dipentaskan di Pura Yogan Agung pada upacara Piodalan
dilaksanakan pada setiap 210 hari sekali di pura Yogan Agung .
Tari
Sanghyang Legong, itu menjadi inspirasi sebuah kelompok tari dari desa
Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik untuk menciptakan sebuah tarian
baru dalam gaya serupa.
Tapi
berbedanya, dimana penarinya adalah pria dan tidak memakai topeng. Tarian ini
dinamakan Nandir.
Inilah
awal mulanya tercipta tari legong yang sekarang kita kenal berawal , yaitu pada
saat Raja Sukawati terkesan menyaksikan pertunjukan tarian Nandir,dan kemudian
memerintahkan para seniman di Sukawati untuk menciptakan tarian serupa bagi
para gadis muda di istananya.
Ada tiga Gaya tari Legong yang terkenal di Bali yaitu tari legong aliran Peliatan, tari legong aliran Saba dan tari legong aliran Badung.
Diantara
ketiga jenis aliran tari Legong itu , hanya gaya Peliatan yang aktif
dalam melakukan pementasan Tari Legong sebagai tari tontonan bagi para turis.
Sejak abad ke-19 tampak ada
pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah
mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada
generasi berikutnya.
Banyak sakeha (kelompok)
Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dan Badung.
Guru-guru tari Legong juga
banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan
Sukawati.
Murid-murid didatangkan dari
seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali
ke desa-desa.
Legong menjadi bagian utama
setiap upacara odalan di desa-desa.
Dalam perkembangan
selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan
menjadi milik masyarakat umum.
Pengaruh istana makin lama
makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M.
Di desa, kini Legong
dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya,
Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme.
Adapun nenek moyangnya yang
lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit.
Pada mulanya Legong juga
berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini
berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler.
Tari Legong masih ditarikan
oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai
sehubungan dengan upacara keagamaan.
Kalangan sering-sering
dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan
dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam kepercayaan
orang-orang Bali.
Yang paling pokok adalah
Legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam
upacara keagamaan.
B. Jenis-Jenis Tari Legong
Jenis-jenis tari legong antara lain :
1. Legong Kuntul
Legong
Kuntul termasuk dalam jenis Legong non-dramatik yang menggambarkan keanggunan
burung bangau di tengah sawah.
Setelah
lama tidak ditarikan, pada tahun 70-an, tarian ini direka kembali berdasarkan
ingatan oleh ibu Reneng dan Anak Agung Raka Saba.
Melodi
dan gerakan yang sangat khas memperindah keseluruhan tarian yang sangat klasik
ini.
2. Legong Lasem (Kraton)
Legong
ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata.
Tari
ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong
dan seorang condong.
Condong
tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem.
Repertoar
dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton.
Tari
ini mengambil dasar dari cabang cerita
Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan
Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk
Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri)
Namun
ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang
adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan.
Mengetahui
adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari,
menyatakan perang dan berangkat ke Lasem.
Sebelum
berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut.
Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja
Daha.
3. Legong Jobog
Kisah
yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana,
tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari
ayahnya.
Karena
ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam
danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak
ada hasilnya.
4. Legong Legod Bawa
Tari
ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu dalam
membanggakan kekuatan masing-masing.
Percakapan
mereka pun didengar oleh dewa Siwa. Dewa Siwa menjadi penengah bagi mereka
berdua dengan cara berubah menjadi lingga sembari mengajukan syarat barang
siapa yang mampu menemukan ujung lingga tersebut, maka ialah yang lebih sakti.
5. Legong Palayon
Menceritakan
kehidupan masa kanak-kanak yang dalam kesehariannya suka bermain, seperti
bermain gamelan yang penuh ekspresi dan tanpa beban , selalu ceria dan gembira
dalam melakukan aktifitasnya.
6. Legong Candrakanta
Tari
ini mengisahkan pertemuan antara bulan dan matahari sehingga terjadi gerghana
bulan yang mengakibatkan dunia menjadi gelap.
Setelah
masyarakat menghaturkan sesajen, memukul kentongan , serta melantunkan
puji-pujian, maka Bulan bersinar kembali seperti sedia kala.
7. Legong Kupu-Kupu Tarum
Tari
Kupu-kupu ini menggambarkan ketentraman dan kedamaian hidup sekelompok
kupu-kupu yang dengan riangnya berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.
Tarian
ini merupakan tarian putri masal yang diciptakan oleh I Wayan Beratha pada
tahun 1960-an.
8. Legong Kuntir
Disebuah
goa dekat gunung himawa, hidup seorang raksasa yang sangat sakti bernama Mahesa
Sora.
Yakin
akan kesaktiannya ini maka timbul niatnya untuk menyerang keindraan, dengan
dalah melamar Dewi Tara putri Dewa Indra.
Dewa
Indra yang sudah tentunya tidak setuju atas lamaran raksasa ini, menolak
akibatnya terjadi perang antara pihak Mahesa Sora dan pihak keindraan.
Merasa Hyang Indra akan kalah, cepat-cepat ia atas petunjuk pendeta Briaspati minta bantuan Subali dan Sugriwa yang diam di gunung Semi, dengan perjanjian bahwa yang dapat mengalahkan Mahesa Sora akan mendapatkan hadiah Dewi Tara sebagai istri.
Subali, Sugriwa menyanggupi dan segera berangkat keindraan melawan Mahesa Sora.
Merasa Hyang Indra akan kalah, cepat-cepat ia atas petunjuk pendeta Briaspati minta bantuan Subali dan Sugriwa yang diam di gunung Semi, dengan perjanjian bahwa yang dapat mengalahkan Mahesa Sora akan mendapatkan hadiah Dewi Tara sebagai istri.
Subali, Sugriwa menyanggupi dan segera berangkat keindraan melawan Mahesa Sora.
Mahesa
Sora yang merasa tidak mampu menghadapi lawannya, segera lari meninggalkan
keindraan, bersembunyi di dalam goanya.
Subali, Sugriwa mengejarnya dan Subali masuk kedalam goa, sebelum memasuki goa, dipesankannya kepada adiknya, bahwa jika nanti ada darah merah yang keluar dari goa maka yang mati adalah Mahesa Sora.
Subali, Sugriwa mengejarnya dan Subali masuk kedalam goa, sebelum memasuki goa, dipesankannya kepada adiknya, bahwa jika nanti ada darah merah yang keluar dari goa maka yang mati adalah Mahesa Sora.
Dan
jika darah putih yang mati adalah Subali sendiri. Dan jika yang keluar darah
merah dan putih yang keluar itu berarti kedua-duanya telah tewas maka Sugriwa
harus cepat-cepat menutup pintu goa.
Demikianlah akhirnya didalam goa Subali berhasil membunuh raksasa itu dengan memecahkan kepalanya sehingga darah dan otaknya berhamburan keluar yang oleh Sugriwa dikira darah merah dan putih.
Demikianlah akhirnya didalam goa Subali berhasil membunuh raksasa itu dengan memecahkan kepalanya sehingga darah dan otaknya berhamburan keluar yang oleh Sugriwa dikira darah merah dan putih.
Segera
pintu goa ditutupnya dan pergi ke indra loka untuk mempersunting Dewi Tara.
Tatkala Sugriwa sedang bermesra mesraan di sebuah taman tiba-tiba datanglah Subali yang telah berhasil keluar dari goa dengan jalan menjebol pintu goa.
Tatkala Sugriwa sedang bermesra mesraan di sebuah taman tiba-tiba datanglah Subali yang telah berhasil keluar dari goa dengan jalan menjebol pintu goa.
Terjadi
pertengkaran akibat salah pengertian yang kemudian memuncak menjadi suatu
pertempuran sengit.
Sugriwa
kalah dan Dewi Tara diambil oleh Subali, dalam kesedihan Sugriwa mengutus
Hanuman untuk minta bantuan Sang Rama.
Akhirnya
atas bantuan Sang Rama, Subali berhasil dikalahkan dan Sugriwa mendapatkan
kembali Dewi Tara
C. Fungsi Tari Legong
Adapun fungsi tari legong sebagai berikut :
1. Sebagai sarana untuk pertunjukan dan hiburan
2. Sebagai ungkapan keindahan ataupun aktivitas keindahan itu
sendiri
3. Sebagai aktivitas kreaktif
4. Untuk mengikaat rasa persatuan
D. Alat Musik Pengiring Tari Legong
Tari
Legong diiringi oleh tetabuhan gamelan Bali, yang dinamakan Gamelan Semar
Pagulingan.
Bunyi
instrumen-instrumen yang disajikan gamelan harus diikuti sesuai dengan pakem
kesesuaian penarinya sesuai dengan penguasaan jalinan wirama, wiraga, dan
wirasa yang baik.
E. Properti Tari Legong
Properti tari Legong adalah sebuah kipas. Kipas menjadi
properti penting yang dapat menambah nilai estetis dalam setiap gerakan yang
dipertunjukan oleh penari tarian khas Bali ini.
F. Tata Busana Tari Legong
Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun
dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan
dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.
Pada
masa lalu busana Tari Legong terkesan cukup sederhana, namun seiring muncul dan
berkembangnya tata rias modern kesenian khas dari Gianyar Bali ini juga mendapatkan
perubahan dari segi kostumnya.
Adapun kostum yang dikenakan guna menunjukan ciri khas dari tarian legong sebagai berikut :
Adapun kostum yang dikenakan guna menunjukan ciri khas dari tarian legong sebagai berikut :
1. Kemen dan Baju
Untuk
menutup bagian atas penari legong menggunakan kemen dan baju lengan panjang dan
identik berwarna mencolok (merah, kuning, hijau, dan lain sebagainya).
Kemen
dan baju sekilas terlihat seperti kebaya di daerah Jawa dan memiliki hiasan
serta corak khusus.
Jika kita melihat beberapa jenis tari legong yang ada saat ini maka kita akan mendapati perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara baju yang dikenakan.
2. Songket dan Stagen
Kain
songket memiliki corak dan warna khusus yang identik dengan kemewahan serta
keindahan.
Pada
pertunjukan tari legong songket dikenakan oleh para penari dengan cara
dililitkan mengelilingi pinggul.
Untuk mendukung kekuatan kain songket berikutnya terdapat Stagen semacam sabuk sebagai pengikat kain songket dengan tubuh penari hingga menutupi bagian dada.
Untuk mendukung kekuatan kain songket berikutnya terdapat Stagen semacam sabuk sebagai pengikat kain songket dengan tubuh penari hingga menutupi bagian dada.
Dengan
demikian para penari akan lebih bebas dan leluasa bergerak tanpa takut songket
yang dililitkan pada pinggulnya terjatuh.
Stagen
sendiri biasanya berwarna mencolok seperti merah maupun pink agar terlihat
menarik dikenakan berseram antara satu penari dengan penari lain.
3. Badong dan Tutup Dada
Pada
bagian atas sebagai hiasan para penari mengenakan Badong yakni sebuah perhiasan
yang terbuat dari kulit hewan dan dikenakan melingkar di leher sehingga
menutupi bahu sang penari.
Sementara
itu penutup dada dikenakan dengan tujuan hiasan sekaligus memperkuat pakaian
yang dikenakan oleh para penarinya.
Selain ketiga tata busana utama di atas tari legong masih memiliki pernik guna mendukung busana yang dikenakan.
Selain ketiga tata busana utama di atas tari legong masih memiliki pernik guna mendukung busana yang dikenakan.
Pernak
pernik seperti gelang atas dan bawah serta gelungan sebagai hiasan kepala akan
menambah keunikan dan keindahan tari legong.
Namun
demikian tata busana Tari Legong di atas merupakan ciri dari tari legong jobog.
Pada jenis legong lain mungkin saja busana dan tata riasnya ada sedikit
perbedaan.
G. Gerakan Tari Legong
Pada
motif gerak tari Legong memang bermuara kepada dasar gerak tari
Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam
lontar Panititaling Pagambuhan
Yakni
mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari
perannya, ada banyak jenis agem.
Kemudian
Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang lainnya, ada tiga
jenis Abah tangkis.
Dasar
selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari
sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg,
kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir.
Untuk
melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh
dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis
carengu
Kemudian
gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet,
ngotak bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan
termasuk pula aturan penggunaan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput.
Ciri
yang sangat kuat dalam tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat
tarian tersebut menjadi hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh
penarinya.
Struktur
tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson
muanin oleg, dan ngipuk.
Sedangkan
secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Keterampilan
dalam membawakan tari Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga,
wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.
1. Miles adalah tumit diputar kedalam (kanan – kiri). Gerakan
ini misalnya terjadi pada pergantian posisi ngagem.
2. Mungkah lawang adalah gerakan tari yang pertama sebagai awal
dari suatu tarian. Maksud dari gerakan ini yaitu untuk membuka langse.
3. Agem kanan adalah berat badan ada pada kaki kanan, jarak kaki
kira-kira 1 genggam serta badan condong ke kanan. Tangan kanan sirang mata dan
tangan kiri sirang susu.
4. Sledet adalah gerakan mata yang dimana gerakan ini dapat
dilakukan ke samping kanan atau kiri dan merupakan ekspresi pokok dalam tari
Bali.
5. Luk nerudut adalah gerakan kepala ke kanan dan ke kiri yang
ditarik secara stakato.
6. Ulap – ulap adalah posisi lengan agak menyiku dengan variasi gerak
tangan seperti orang memperhatikan sesuatu.
7. Ngejat pala adalah kecepatan dari gerakan ngotag pala
8. Agem kiri adalah berat badan ada pada kaki kiri, jarak kaki
kira-kira 1 genggam serta badan condong ke kiri. Tangan kiri sirang mata dan
tangan kanan sirang susu.
9. Ngelo adalah gerak tangan bergantian sejajar dengan pinggang
dan dahi
10. Ngenjet adalah menekankan kaki kanan atau kiri secara
bergantian ke depan, tumit tidak menempel di tanah (menjinjit) dan badan agak
merendah (ngeed).
11. Nyeregseg adalah gerakan kaki dengan langkah ke samping cepat
dan bisa digerakkan kesegala arah.
12. Ngumad adalah gerakan menarik kaki yang didominit oleh
gerakan tangan ke arah sudut belakang. Gerakan ini dipakai pada waktu akan
ngangsel ngeteb ataupun ngumbang.
13. Ngumbang adalah gerakan berjalan pada tari wanita dengan
jatuhnya kaki menurut maat gending ataupun pukulan kajar.
14. Milpil adalah gerakan berjalan juga, hanya ragamnya lebih
halus, kadang – kadang injakan – injakan tapak kai lebih dari satu kali.
15. Lasan megat yeh adalah sikap kaki sama dengan sregseg hanya
berbeda pada arah gerakan yaitu ke sudut kanan depan.
16. Ngepik adalah leher direbahkan ke kanan dan ke kiri.
H. Filosofi Tari Legong
Di
samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong tersimpan di dalam gerak tarinya
sendiri.
Sebelum
tarian dimulai, kedua penari Legong duduk pada kursi di muka gamelan, berayun
ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan.
Tari
Legong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun
pertunjukannya.
Dalam
hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai keagamaan dan kepercayaan yang
diasosiasikan dengan tari Legong ialah kebudayaan keraton Hindu Jawa.
Kebudayaan
tersebut amat berbeda sifatnya kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu
di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang Hyang.
Pada
saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sangat beda sifatnya.
Tari
Legong tidak lagi merupakan manifestasi dari leluhur, seperti halnya Sang
Hyang, namun dipertunjukan untuk hiburan para leluhur.
Dengan
kata lain, tari Legong dipentaskan untuk menghibur para leluhuryang turun dari
kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara odalan yang datangnya
setiap 210 hari.
Seperti
kesenian istana lainnya, tari Legong dijadikan suatu tradisi sebagai pameran
yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman lampau.
Para
petugas istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling cantik dan
berbakat kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak di
antaranya menjadi abdi keraton.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete