Aesan Gede : Pakaian Adat Sumatera Selatan, Yang Glamor Dan Elegan



Daerah yang dikenal dengan sebutan “Bumi Sriwijaya” dan masyarakatnya yang dipanggil sebagai “Wong Kito Galo” memiliki pakaian tradisional yang khas dengan keragaman corak di tiap kebupaten dalam propinsi tersebut.

Pakaian Adat Sumatera Selatan (Aesan Gede)



Baca Juga :



Propinsi Sumatra Selatan, memiliki sebelas kabupaten dan empat kota. Kabupaten Lahat, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Kota Pagar Alam Kota Prabumulih, Kota Lubuk Linggau, Kota Palembang I, Kota Palembang II. Masing-masingnya memiliki corak pakaian adat Sumatra Selatan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain.

Namun meski dari ragam nampak berbeda, hampir semua pakaian adat di Sumatera Selatan menggunakan kain Songket dengan  teknik pembuatannya didasarkan pada keterampilan, ketelatenan, kesabaran, dan daya kreasi seni yang tinggi.

Dalam simbol perkawinan masyarakat Sumatra Selatan, kain songket serta pakaian adat yang diberikan pada saat lamaran, kain songket melambangkan sumber kehidupan kedua pengantin serta dilihat dari segi kepribadiannya, pendidikannya, dan status ekonominya.

Tak heran, jika pemerian lamaran yang di antaranya adalah pakaian adat dan kain songket menjadi simbol derajat kehidupan pengantin. Karena pakaian adat dengan bahan dasar tenun songket terlihat dominan dengan warna keemasan yang gemerlap dan sentuhan merah merona serta merah jambu yang glamor dan elegan menjadi ciri khas pakaian adat Sumatra Selatan yang menonjolkan ciri seorang raja dan ratu Kerajaan Sriwijaya di masa kejayaannya.

Pakaian Adat Sumatra Selatan bisa dikatakan sebagai simbol peradaban budaya masyarakat Sumatra Selatan. Karena di dalamnya terdapat unsur filosofi hidup dan keselarasan. Hal ini bisa dilihat dari pilihan warna dan corak yang menghiasi pakaian adat tersebut.

Ditambah dengan kelengkapannya, makin menambah kesakralan yang nampak pada tampilan pakaian adat yang berfungsi sebagai identitas budaya masyarakat Sumatra Selatan.
Dalam catatan sejarahnya, pakaian adat Sumatra Selatan berasal dari jaman kesultanan Palembang pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19. Saat itu pakaian adat tersebut hanya boleh digunakan oleh golongan keturunan raja-raja atau priyai saja.

Pakaian adat ini terinspirasi dari zaman kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di daerah Sumatra Selatan pada abad ke-7 sampai ke-13 Masehi. Selain faktor sejarah yang kuat, hal paling terpenting dalam hasil cipta karya budaya manusia adalah sikap memegang teguh dan rasa bangga yang tertanam pada masyarakat Sumatra Selatan untuk tetap menggunakan pakaian adat dalam setiap moment upacara adat.

Pakaian adat Sumatera Selatan sangat terkenal dengan sebutan Aesan gede yang melambangkan kebesaran, dan pakaian Aesan paksangko yang melambangkan keanggunan masyarakat Sumatera Selatan. Pakaian adat ini biasanya hanya digunakan saat upacara adat perkawinan.

Dengan pemahaman bahwa upacara perkawinan ini merupakan upacara besar. Maka dengan menggunakan Aesan Gede atau Aesan Paksangko sebagai kostum pengantin memiliki makna sesuatu yang sangat anggun, karena kedua pengantin bagaikan raja dan ratu.

Pembeda antara corak Aesan Gede dan Aesan Paksongko, jika dirinci sebagai berikut; gaya Aesan Gede berwarna merah jambu dipadu dengan warna keemasan. Kedua warna tersebut diyakini sebagai cerminan keagungan para bangsawan Sriwijaya. Apalagi dengan gemerlap perhiasan pelengkap serta mahkota Aesan Gede, bungo cempako, kembang goyang, dan kelapo standan. Lalu dipadukan dengan baju dodot serta kain songket lepus bermotif napan perak.

Urutan Tata Rias dan Tata Busana Aesan Gede antara lain sebagai berikut:
1.     Mahkota Aesan Gede berupa Karsuhun (perempuan) dan Kopiah Cuplak (laki - laki)
2.     Terate, hiasan yang menutupi dada dan pundak yang digunakan pengantin laki-laki maupun perempuan. Terate ini berbentuk lingkaran bersudut lima berhiaskan motif bunga melati bersepuh emas. Hiasan ini melambangkan kesucian dan kemegahan. Bagian tepinya terdapat pekatu berbentuk bintang serta rantai dan juntaian lempengan emas berbentuk biji ketimun.
3.     Kalung Tapak Jajo, dikenal juga Kebo Munggah yang terbuat dari emas 24 karat memiliki lempengan bersusun tiga. Pantang digunakan laki-laki atau perempuan yang belum menikah. Bila belum menikah hanya boleh memakai kalung yang terdiri dari 2 atau 1 susun lempengan.
4.     Selendang Sawit, berjumlah dua buah yang menyilang dari bahu kiri ke pinggang sebelah kanan dan dari bahu kanan ke pinggang sebelah kiri. Selandang Sawit terbuat dari emas 22 karat dengan ragam hias sulur dan ditengahnya terdapat aksen intan.
5.     Pending, yaitu ikat pinggang pengantin perempuan dan laki-laki berbentuk lempengan emas berukuran 6 cm x 9 cm terbuat dari emas 20 karat. Kepala pending disebut badong yang diukir ragam hias daun, bunga, naga dan burung hong.
6.     Keris, digunakan oleh pengantin pria keturunan raja atau bangsawan yang diselipkan dipinggang depan sebelah kanan dengan gagang dihadapkan keluar. Sarung keris ini terbuat dari emas 20 karat. Bila rakyat biasa, penyematkan keris berada di bagian belakang tubuh sebagai tanda penghormatan pada atasan.
7.     Gelang Kepala Ulo, gelang berbentuk ular naga bersisik dan berpulir yang terbuat dari emas 24 karat juga taburan berlian. Gelang ini hanya digunakan pengantin perempuan pada lengan.
8.     Gelang Kecak, terbuat dari emas 24 karat berbentuk mata berukuran besar yang dihiasi pekatu polos dan persis ditengah kecak ada 2 tumpukan lingkaran berhias emas. Gelang kecak digunakan pada pangkal lengan yang digunakan oleh laki-laki maupun perempuan.
9.     Gelang Sempuru dan Gelang Kanu.
10.            Saputangan Segi Tigo, hanya boleh digunakan bangsawan yang terbuat dari beludru merah yang salah satu sisinya bertabur kelopak bunga melatu dari emas. Pada pinggirnya terdapat rantai dan juntaian bandul serta lempengan logam berbentuk wajik. Pada Aesan Gede, pria menggunakan saputangan pada jari tengah sebelah kanan, sedangkan pada Aesan Pak Sangko, pria menggunakannya pada jari telunjuk sebelah kiri. Sedangkan perempuan pada kedua adat tesebut memakai pada kelingking sebelah kanan.

Pada Aesan Paksangkong. Bagi laki-laki menggunakan songket lepus bersulam emas, jubah motif tabor bunga emas, selempang songket, seluar,  serta songkok emeas menghias kepala.

Dan bagi perempuan menggunakan teratai penutup dada, baju kurung warna merah ningrat bertabur bunga bintang keemasan, kain songket lepus bersulam emas, serta hiasan kepala berupa mahkota Aesan Paksangkong. 

Tak ketinggalan pula pernak-pernik penghias baju seperti perhiasan bercitrakan keemasan, kelapo standan, kembang goyang, serta kembang kenango.

Pakaian adat Sumatra Selatan, jika kita perhatikan, memeilik unsur melayu yang sangat kuat. Jas tutup bersulam emas, dipadukan dengan kain songket, celana panjang serta ikat kepala yang disebut tanjak (untuk laki-laki). Sementara untuk perempuan, menggunakan kebaya modern sebagai bajunya, dan kain songket digunakan sebagai sarung atau bawahan dan selendang.

Selain itu pakaian adat itu juga ditambah pernak pernik hiasan berupa asesoris yang di antaranya Teratai Emas, Kalung Tapak Jajo atau Kebe Nungga, Gelang Kano, Gelang Sempuru, Gelang Bermato atau Gandik, Kembang Goyang Cempako, Suri, Kembang Ure.

Bahkan bukan hanya itu. Telinga dari pemakainya dipasang pula sumping bungo kertas, serta Tanjak buat untuk tutup kepala pria. Tentu saja masih banyak lagi hiasan lain yang digunakan sebagai pemanis dan indahnya pakaian tersebut.


Sumber :
http://inongsomniac.blogspot.co.id/2014/03/pesona-aesan-gede-pesona.html
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/998/pakaian-adat-sumatra-selatan

No comments:

Post a Comment